Senin, 17 November 2008

Medical Check-up


Para pembaca sekalian, terserah anda percaya atau tidak, tetapi kisah ini benar-benar terjadi. Waktu itu kalau tidak salah sekitar akhir tahun lalu, saat saya diharuskan melakukan medical check-up di sebuah klinik kesehatan di Jakarta, guna memenuhi persyaratan agar diterima bekerja di sebuah perusahaan yang termasuk grup perusahaan milik konglomerat terkemuka Indonesia.

Sebenarnya saya malas melakukan medical check-up ini. Pasti lagi-lagi cuma cek darah, air seni, dan kotoran saja. Kemudian diperiksa oleh dokter memakai stetoskop untuk menyakinkan bahwa saya terkena penyakit atau tidak. Itu saja menurut saya, tidak ada yang lain. Dokter yang akan memeriksa saya paling-paling juga dokter cowok, mana sudah tua lagi.

Dengan sekali-sekali menguap karena jenuh, sudah hampir setengah jam saya menunggu dokter yang tak kunjung datang. Padahal saya sudah melalui proses medical check-up yang pertama, yaitu pemeriksaan darah, air seni, dan kotoran. Beberapa kali saya menanyakan pada orang di loket pendaftaran dan selalu memperoleh jawaban sama, yaitu agar saya sabar sebab dokternya dalam perjalanan dan mungkin sedang terjebak macet. Saya melihat arloji di tangan saya. Akhirnya saya memutuskan bahwa kalau dokternya tidak juga datang limabelas menit lagi, maka saya akan pulang saja ke rumah. Dengan menarik nafas, kesal, saya memandangi sekeliling saya. Tahu-tahu mata saya tertumbuk pada seorang wanita yang baru saja masuk ke dalam klinik tersebut. Amboi, cantik juga dia. Saya taksir usianya sekitar 35-an. Tetapi alamak, tubuhnya seperti cewek baru duapuluhan. Kencang dan padat. Payudaranya yang membusung cukup besar itu tampak semakin menonjol di balik kaus oblong ketat yang ia kenakan. Gumpalan pantatnya di balik celana jeansnya yang juga ketat, teramat membangkitkan selera. Batinku, coba dokternya dia ya. Tidak apa-apa deh kalau harus diperiksa berjam-jam olehnya. Akan tetapi karena rasa bosan yang sudah menjadi-jadi, saya tidak memperhatikan wanita itu lagi. Saya kembali tenggelam dalam lamunan yang tak tentu arahnya.

"Mas, silakan masuk. Itu dokternya sudah datang." Petugas di loket pendaftaran membuyarkan lamunan saya. Saat itu saya sudah hendak memutuskan untuk pulang ke rumah, mengingat waktu sudah berlalu limabelas menit. Dengan malas-malasan saya bangkit dari bangku dan berjalan masuk ke ruang periksa dokter.

"Selamat malam," suara lembut menyapa saat saya membuka pintu ruang periksa dan masuk ke dalam. Saya menoleh ke arah suara yang amat menyejukkan hati itu. Saya terpana, ternyata dokter yang akan memeriksa saya adalah wanita cantik yang tadi sempat saya perhatikan sejenak. Seketika itu juga saya menjadi bersemangat kembali.

"Selamat malam, Dok," sahut saya. Ia tersenyum. Aah, luluhlah hati saya karena senyumannya ini yang semakin membuatnya cantik.

"Oke, sekarang coba kamu buka kaus kamu dan berbaring di sana," kata sang dokter sambil menunjuk ke arah tempat tidur yang ada di sudut ruang periksa tersebut.

Saya pun menurut. Setelah menanggalkan kaus oblong, saya membaringkan diri di tempat tidur. Dokter yang ternyata bernama Dokter Shinta itu menghampiri saya dengan berkalungkan stetoskop di lehernya yang jenjang dan putih.

"Kamu pernah menderita penyakit berat? Tipus? Lever atau yang lainnya?" Saya menggeleng.

"Sekarang coba kamu tarik nafas lalu hembuskan, begitu berulang-ulang ya." Dengan stetoskopnya, Dokter Shinta memeriksa tubuh saya. Saat stetoskopnya yang dingin itu menyentuh dada saya, seketika itu juga suatu aliran aneh menjalar di tubuh saya. Tanpa saya sadari, saya rasakan, batang kemaluan saya mulai menegang. Saya menjadi gugup, takut kalau Dokter Shinta tahu. Tapi untuk ia tidak memperhatikan gerakan di balik celana saya. Namun setiap sentuhan stetoskopnya, apalagi setelah tangannya menekan-nekan ulu hati saya untuk memeriksa apakah bagian tersebut terasa sakit atau tidak, semakin membuat batang kemaluan saya bertambah tegak lagi, sehingga cukup menonjol di balik celana panjang saya.

"Wah, kenapa kamu ini? Kok itu kamu berdiri? Terangsang saya ya?" Mati deh! Ternyata Dokter Shinta mengetahui apa yang terjadi di selangkangan saya. Aduh! Muka ini rasanya mau ditaruh di mana. Malu sekali!

"Nah, coba kamu lepas celana panjang dan celana dalam kamu. Saya mau periksa kamu menderita hernia atau tidak." Nah lho! Kok jadi begini?! Tapi saya menurut saja. Saya tanggalkan seluruh celana saya, sehingga saya telanjang bulat di depan Dokter Shinta yang bak bidadari itu.

Gila! Dokter Shinta tertawa melihat batang kemaluan saya yang mengeras itu. Batang kemaluan saya itu memang tidak terlalu panjang dan besar, malah termasuk berukuran kecil. Tetapi jika sudah menegang seperti saat itu, menjadi cukup menonjol.

"Uh, burung kamu biar kecil tapi bisa tegang juga," kata Dokter Shinta serasa mengelus batang kemaluan saya dengan tangannya yang halus. Muka saya menjadi bersemu merah dibuatnya, sementara tanpa dapat dicegah lagi, batang kemaluan saya semakin bertambah tegak tersentuh tangan Dokter Shinta. Dokter S masih mengelus-elus dan mengusap-usap batang kemaluan saya itu dari pangkal hingga ujung, juga meremas-remas buah zakar saya.

"Mmm... Kamu pernah bermain?" Saya menggeleng. Jangankan pernah bermain. Baru kali ini saya telanjang di depan seorang wanita! Mana cantik dan molek lagi!

"Aahhh....." Saya mendesah ketika mulut Dokter Shinta mulai mengulum batang kemaluan saya. Lalu dengan lidahnya yang kelihatannya sudah mahir digelitiknya ujung kemaluan saya itu, membuat saya menggerinjal-gerinjal. Seluruh batang kemaluan saya sudah hampir masuk ke dalam mulut Dokter Shinta yang cantik itu. Dengan bertubi-tubi disedot-sedotnya batang kemaluan saya. Terasa geli dan nikmat sekali. Baru kali ini saya merasakan kenikmatan yang tak tertandingi seperti ini.

Dokter Shinta segera melanjutkan permainannya. Ia memasukkan dan mengeluarkan batang kemaluan saya dari dalam mulutnya berulang-ulang. Gesekan-gesekan antara batang kemaluan saya dengan dinding mulutnya yang basah membangkitkan kenikmatan tersendiri bagi saya.

"Auuh..... Aaaahhhh....." Akhirnya saya sudah tidak tahan lagi. Kemaluan saya menyemprotkan cairan kental berwarna putih ke dalam mulut Dokter Shinta. Bagai kehausan, Dokter Shinta meneguk semua cairan kental tersebut sampai habis.

"Duh, masa baru begitu saja kamu udah keluar." Dokter Shinta meledek saya yang baru bermain oral saja sudah mencapai klimaks.

"Dok... Saya... baru pertama kali... melakukan ini....." jawab saya terengah-engah.

Dokter Shinta tidak menjawab. Ia mencopot jas dokternya dan menyampirkannya di gantungan baju di dekat pintu. Kemudian ia menanggalkan kaus oblong yang dikenakannya, juga celana jeans-nya. Mata saya melotot memandangi payudara montoknya yang tampaknya seperti sudah tidak sabar ingin mencelat keluar dari balik bh-nya yang halus. Mata saya serasa mau meloncat keluar sewaktu Dokter Shinta mencopot bh-nya dan memelorotkan celana dalamnya. Astaga! Baru sekarang saya pernah melihat payudara sebesar ini. Sungguh besar namun terpelihara dan kencang. Tidak ada tanda-tanda kendor atau lipatan-lipatan lemak di tubuhnya. Demikian pula pantatnya. Masih menggumpal bulat yang montok dan kenyal. Benar-benar tubuh paling sempurna yang pernah saya lihat selama hidup saya. Saya rasakan batang kemaluan saya mulai bangkit kembali menyaksikan pemandangan yang teramat indah ini.

Dokter Shinta kembali menghampiri saya. Ia menyodorkan payudaranya yang menggantung kenyal ke wajah saya. Tanpa mau membuang waktu, saya langsung menerima pemberiannya. Mulut saja langsung menyergap payudara nan indah ini. Sambil menyedot-nyedot puting susunya yang amat tinggi itu, mengingatkan saya waktu saya menyusu pada ibu saya selagi kecil. Dokter Shinta adalah wanita yang kedua yang pernah saya isap-isap payudaranya, tentu saja setelah ibu saya saat saya masih kecil.

"Uuuhhh..... Aaah....." Dokter Shinta mendesah-desah tatkala lidah saya menjilat-jilati ujung puting susunya yang begitu tinggi menantang. Saya permainkan puting susu yang memang amat menggiurkan ini dengan bebasnya. Sekali-sekali saya gigit puting susunya itu. Tidak cukup keras memang, namun cukup membuat Dokter Shinta menggelinjang sambil meringis-ringis.

Tak lama kemudian, batang kemaluan saya sudah siap tempur kembali. Saya menarik tangan Dokter Shinta agar ikut naik ke atas tempat tidur. Dokter Shinta memahami apa maksud saya. Ia langsung naik ke atas tubuh saya yang masih berbaring tertelentang di tempat tidur. Perlahan-lahan dengan tubuh sedikit menunduk ia mengarahkan batang kemaluan saya ke vaginanya yang sekelilingnya ditumbuhi bulu-bulu lebat kehitaman. Lalu dengan cukup keras, setelah batang kemaluan saya masuk satu sentimeter ke dalam vaginanya, ia menurunkan pantatnya, membuat batang kemaluan saya hampir tertelan seluruhnya di dalam vaginanya. Saya melenguh keras dan menggerinjal-gerinjal cukup kencang waktu ujung batang kemaluan saya menyentuh pangkal vagina Dokter Shinta. Menyadari bahwa saya mulai terangsang, Dokter Shinta menambah kualitas permainannya. Ia menggerak-gerakkan pantatnya berputar-putar ke kiri ke kanan dan naik turun ke atas ke bawah. Begitu seterusnya berulang-ulang dengan tempo yang semakin lama semakin tinggi. Membuat tubuh saya menjadi meregang merasakan nikmat yang bukan main.

Saya merasa sudah hampir tidak tahan lagi. Batang kemaluan saya sudah nyaris menyemprotkan cairan kenikmatan lagi. Namun saya mencoba menahannya sekuat tenaga dan mencoba mengimbangi permainan Dokter Shinta yang liar itu. Akhirnya.....

"Aaaahh....."

"Ouuhhhh....."

Saya dan Dokter Shinta sama-sama menjerit keras. Kami berdua mencapai klimaks hampir bersamaan. Saya menyemprotkan air mani saya di dalam vagina Dokter Shinta yang masih berdenyut-denyut menjepit batang kemaluan saya.

Demikianlah peristiwa yang terjadi malam itu. Dan mau tahu apa hasil medical check-up yang istimewa tersebut? Saya dinyatakan sehat secara fisik dan tentu saja secara mental. Apalagi secara birahi. Tentu para pembaca semua tahu maksud saya ini. Dan akhirnya saya berhasil diterima di perusahaan besar itu yang merupakan impian saya sejak lama. Sayangnya, permainan saya yang menggebu-gebu tersebut dengan Dokter Shinta merupakan pengalaman saya yang pertama sekaligus yang terakhir. Ia sepertinya menghindar apabila saya sengaja datang ke tempat praktek dokternya. Dengan alasan sibuk atau sejuta alasan lainnya, Dokter Shinta selalu menolak menemui saya. Saya tidak tahu mengapa ia bersikap seperti itu. Ah, biar saja!

Ling Ling


Aku mengenal Ling Ling sewaktu kami sama-sama masih SMA. Kami sejak kelas satu selalu satu kelas di sebuah SMA swasta unggulan di Jakarta. Walau begitu antara aku dengan dia tidak berteman dekat. Bahkan boleh dibilang kami berdua saling mengacuhkan satu sama lain. Tetapi karena kami kebetulan sama-sama tergabung dalam kelompok pecinta alam di sekolah, aku jadi mengenalnya lebih dekat.

Ling Ling termasuk anak yang rajin. Setiap habis ada pertemuan di markas kelompok pecinta alam tersebut, ia selalu menyingsingkan lengan bajunya untuk ikut membereskan segala sesuatunya, bahkan termasuk mengangkat barang-barang yang cukup berat. Itu tidak menjadi problem yang berarti baginya. Ling Ling memang amat kelaki-lakian. Jika dilihat sekilas, hampir tidak ada tanda-tanda pada dirinya yang menunjukkan bahwa dia itu sebenarnya perempuan. Buah dadanya termasuk hampir rata, hanya menampakkan lengkungan kecil saja di dadanya jika ia sedang memakai kaus oblong. Pinggang dan pantatnya pun tidak kalah ratanya dengan buah dadanya. Pokoknya Ling Ling lebih pantas menjadi laki-laki daripada seorang perempuan. Bahkan pertama kali aku mengenalnya waktu hari pertama di kelas satu, aku heran melihatnya. Aku melihatnya anak laki-laki aneh yang selalu menggunakan pakaian seragam wanita, blus putih dan rok pendek abu-abu. Cuma suaranya saja yang kecil saja yang menandakan ia masih termasuk kategori cewek. Itu pun terdengar galak dan tegas.

Suatu waktu, kelompok pecinta alam sekolahku di mana aku dan Ling Ling bergabung di dalamnya berencana untuk mengadakan acara mendaki gunung di Gunung Salak, Jawa Barat. Setiap kelas diminta untuk mengirimkan minimal dua orang wakilnya. Aku dan Ling Ling mengikuti acara tersebut sebagai wakil kelas II A1-2. Pada hari yang ditentukan berangkatlah seluruh peserta acara tersebut ke tempat tujuan.

Hari pertama di tempat tujuan, sebelum mendaki, seluruh peserta beristirahat sejenak di kaki gunung dengan hanya menggelar sleeping bag atau kasur gulung saja sebagai alas. Saat itu masih siang. Menjelang sore baru kami semua berangkat. Pendakian hari itu memang ditujukan untuk melatih para peserta mendaki gunung di malam hari. Udara yang sangat dingin begitu menusuk tulang, meski jaket yang cukup tebal sudah melekat di badan. Tapi benar saja. Rasa dingin itu berangsur-angsur lenyap saat kami mulai berjalan melewati jalan setapak yang tersedia. Malah berubah menjadi hangat sewaktu jalan mulai menanjak cukup tinggi. Aku, Ling Ling, dan beberapa orang lagi kebetulan berada di rombongan paling belakang. Ling Ling berjalan paling buncit di belakangku. Walau aku sudah berulang kali mempersilakannya untuk berjalan di depanku, namun ia tetap berkeras tidak mau mendahuluiku. Aku yang tidak enak hati membiarkan cewek berjalan paling belakang tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku mengenal sifat Ling Ling yang keras kepala. Begitu ia memutuskan sesuatu, tak akan pernah ia mengubahnya meski dibujuk rayu bagaimanapun caranya.

Kami mulai terengah-engah. Napas rasanya hampir habis dipaksa berjalan dengan cepat. Kami semua mendekati di sebuah tanjakan cukup terjal. Di kiri kanannya terdapat jurang. Tidak terlalu dalam memang, tapi cukup menakutkan dalam gelapnya malam. Kumenoleh ke belakang. Kulihat Ling Ling tetap tegar. Tak ada rasa ragu atau gentar sedikitpun dalam dirinya. Aku kagum padanya. Sebenarnya, hatiku sedikit kecut juga. Belum pernah aku mendaki gunung di waktu malam. Seram rasanya melihat kegelapan di mana-mana di sekelilingku. Cuma lampu senter yang dibawa masing-masing peserta saja yang menjadi penerang. Akhirnya kami tiba di tanjakan terjal tersebut. Hampir semua para peserta melongo melihat tingginya sudut kemiringan tanjakan itu. Tetapi bagaimanapun juga, kami tetap harus mendakinya, meski dengan sudah payah.

"Kresek... Gedubrak.....!"

Aku berhenti berjalan, terkejut mendengar suara itu dan menoleh ke belakang. Ternyata di belakangku sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Ke mana si Ling Ling? Kucoba melihat dalam gelap ke awal tanjakan. Samar-samar kulihat ada yang bergerak-gerak di bawah sana. Kusorotkan lampu senterku ke arah itu. Ternyata kulihat Ling Ling yang sedang terduduk dengan mengurut-urut pahanya sambil meringis-ringis kesakitan. Tanpa mempedulikan para peserta lainnya di depanku yang sudah cukup jauh di depan, aku berbalik arah dan memburu turun tanjakan kembali ke tempat Ling Ling berada.

"Ling Ling! Kamu kenapa, Ling?" Aku bertanya kepada Ling Ling ketika sudah sampai di bawah.

"Kaki saya nih, Ron. Agak keseleo," jawabnya.

"Aduh. Celaka juga. Bagaimana ya?"

"Aduh!" Ling Ling mengaduh kesakitan.

"Kamu bisa jalan nggak, Ling."

"Kita coba deh. Kamu bantuin saya ya, Ron."

Akhirnya aku membantu Ling Ling bangkit berdiri. Setelah susah payah akhirnya berhasil. Aku memapahnya mencoba berjalan. Tetapi Ling Ling tambah meringis-ringis. Sialnya lagi, hujan gerimis mulai turun. Aku jadi bingung mau berbuat apa, tapi Ling Ling tetap kelihatan tenang. Sialan! Gara-gara dia, aku jadi bingung seratus keliling, tapi dia malah tenang saja, gerutuku dalam hati.

"Ling, kayaknya hujannya tambah deras aja. Mendingan kita cari tempat untuk berteduh dulu ya."

"Terserah kamu deh, Ron."

Di tengah hujan yang semakin deras, aku dan Ling Ling mencari-cari tempat yang cocok untuk berteduh sambil menunggu hujan reda. Mencari-cari cukup lama di bawah derasnya air hujan, akhirnya aku menemukan sebuah gua yang cukup lapang yang kira-kira luasnya cukup untuk menampung sepuluh orang tetapi pintu masuknya agak tersembunyi dan sulit ditemukan dalam gelap. Kami berdua masuk ke dalam gua tersebut.

Aku mencari-cari dalam ransel anti air yang kubawa barang-barang yang kira-kira bisa kupakai di situ. Aha! Kutemukan geretan gas dan sebatang lilin. Kunyalakan lilin itu dan kuletakkan di suatu tonjolan di dinding gua. Lumayan, cukup terang untuk menerangi dalam gua tersebut. Aku melihat ke arah Ling Ling. Kasihan sekali dia. Ling Ling tampak menggigil kedinginan. Aku dan dia sama-sama memakai jaket anti air. Tetapi jaket Ling Ling terkoyak cukup lebar sewaktu jatuh tadi. Dan akibatnya pakaiannya jadi basah kuyup, sedangkan pakaianku sendiri aman-aman saja, hanya basah sedikit.

Aku tak tega menyaksikan Ling Ling kedinginan seperti itu karena mengenakan pakaian yang basah kuyup. Akhirnya aku mengusulkan agar ia membuka semua pakaiannya yang basah dan sebagai penggantinya, ia kupinjami jaket tebal yang kupakai. Mula-mula Ling Ling kelihatannya ragu-ragu harus membuka pakaian di depanku. Tetapi setelah aku membujuknya dan berulangkali kujelaskan bahwa aku tak bermaksud buruk padanya, ia mau. Akhirnya dengan berdiri membelakangiku, Ling Ling mulai menanggalkan satu persatu pakaian yang dikenakannya di bawah temaramnya cahaya lilin sebatang, setelah mencopot sepatu ketsnya. Aku sebenarnya tidak bermaksud menontonnya, tetapi karena hanya di tempat itu yang terang, mau tak mau aku memandang ke arahnya juga.

Pertama-tama, Ling Ling memberikan jaketnya yang sobek kepadaku. Kemudian ia melepaskan sweater dan kaus oblong yang dipakainya. Aku terpukau sejenak melihat tubuh bagian atasnya yang putih dan kulitnya yang mulut dengan hanya mengenakan bh berukuran kecil. Dengan menutupi dadanya yang hampir terbuka dengan tangan, Ling Ling membalikkan badannya dan melemparkan pakaiannya itu padaku. Aku membalasnya dengan memberinya jaketku yang cukup tebal dan bagian dalamnya masih kering. Setelah menerima pemberianku, Ling Ling berbalik badan lagi, kembali membelakangiku. Lalu ia membuka tali bhnya dan menanggalkan penutup buah dadanya itu.

Sewaktu ia hendak memakai jaket pemberianku, tiba-tiba jaket itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah. Ling Ling membungkuk ke samping. Dari terangnya cahaya lilin, aku melihat buah dadanya. Ukurannya memang kecil, cuma sebesar buah dada anak SD. Tetapi kulihat ujungnya runcing dan puting susunya berukuran lebih kecil sedikit daripada ukuran penghapus di ujung pensil. Ling Ling tidak menyadari bahwa aku sedang memperhatikan tubuhnya yang setengah telanjang.

Sesudah memakai jaketku, lalu Ling Ling berjongkok sedikit untuk membuka celana panjang dan celana dalamnya. Kusaksikan di depan mata kepalaku sendiri pantatnya yang tidak montok tapi mulus dan putih. Barangkali akibat cahaya lilin yang remang-remang, tubuh Ling Ling yang sebenarnya bukan tipe bentuk tubuh idamanku, kurasakan tampak sensual sekali. Dan itu sudah cukup untuk membuat kemaluanku berdiri. Sementara sekilas lewat sebuah pikiran jahat di otakku, yaitu untuk memperkosa Ling Ling.
Untunglah, akal sehatku masih jauh lebih kuat.

"Kamu udah selesai, Ling."

"Udah, Ron. Terima kasih ya atas bantuan kamu."

"Don't mention it," jawabku.

"Tapi... aduh... duh..." Tiba-tiba Ling Ling mengaduh-aduh lagi ketika ia mencoba berjalan menghampiri tempat dudukku. Aku berdiri dan membantunya berjalan ke tempat dudukku itu yang kebetulan berada di tanah yang datar.

Kubantu lagi Ling Ling untuk duduk di atas ranselku.

"Di mana yang sakit, Ling?" tanyaku.

"Di sini, Ron. Paha saya sakit banget nih. Keseleo kali ya?" sahut Ling Ling sembari mengurut-urut pahanya yang tampak mulai membiru. Aku menyentuh paha Ling Ling yang putih, namun aku langsung sadar dan menarik tanganku.

"Nggak pa-pa kok, Ron, kamu mengurut pahaku. Asal saja kamu nggak berpikiran yang macam-macam."

Akhirnya aku menuruti perkataan Ling Ling. Aku mulai mengurut pahanya dengan perlahan-lahan. Tiba-tiba ia berteriak kesakitan sewaktu aku mengurutnya terlalu keras. Karena rasa sakit itu, tanpa sengaja ia merenggangkan kedua kakinya. Dari cahaya lilin yang masuk ke dalam celah-celah di antara kedua pahanya yang merenggang itu, aku dapat melihat dengan samar-samar selangkangannya dengan seonggok warna kehitaman yang terletak di tengah-tengah selangkangan itu. Kemaluanku menjadi semakin berdiri. Untungnya, Ling Ling tidak mengetahuinya.

Karena aku takut kalau Ling Ling kesakitan lagi, aku mengurut pahanya dengan hati-hati. Bahkan saking pelannya, Ling Ling merasa itu bukan sebuah urutan lagi, melainkan sebuah elusan. Dan ini dirasakannya sungguh nikmat. Belum pernah dalam hidupnya, pahanya disentuh oleh laki-laki. Ini dibuktikan oleh desahan-desahan kecil yang keluar dari mulutnya waktu aku sedang mengurutnya. Bodohnya, aku tidak menyadarinya. Aku menganggap desahan-desahan ini hanya sebagai reaksi akibat rasa sakit pada pahanya saat kuurut. Tidak lebih daripada itu.

"Gimana, Ling? Udah mendingan kan sekarang?" tanyaku setelah selesai mengurutnya.

"Iya, bener, Ron. Paha saya udah nggak begitu sakit lagi. Saya coba pake buat jalan ya."

Kubantu Ling Ling berdiri dengan hati-hati. Setelah ia berdiri, perlahan-lahan ia kulepas. Aku berdiri agak menjauh dari tempatnya. Kemudian aku memintanya mencoba berjalan ke arahku. Ling Ling dengan susah payah mencoba menggerakkan kakinya. Dengan tetap meringis-ringis, ia tertatih-tatih berjalan ke arahku. Kira-kira mencapai jarak tinggal setengah meter dari tempatku berdiri, tiba-tiba Ling Ling terhuyung-huyung dan langsung ambruk. Untung saja aku lebih cepat dan sempat menyambarnya sebelum ia jatuh mencium lantai gua.

"Aaiih....." Ling Ling mendesah ketika aku menangkap tubuhnya. Aku menjadi kaget. Astaga. Ternyata aku tak sengaja mencengkeram buah dadanya. Memang terasa ada sesuatu yang kenyal di telapak tanganku, tapi aku tak menyadarinya, sebab waktu aku menangkap tubuh Ling Ling itu
adalah karena gerak refleksku.

"Ron, Ronny... Lepasin dong..." Teriakan Ling Ling membuatku sadar. Ternyata karena aku kaget tadi, aku bukannya melepaskannya tapi malah mencengkeram buah dadanya semakin kencang. Kulihat mukanya memerah.

Aku melepaskan tanganku dari tubuh Ling Ling dan mencoba mengajaknya mencoba berjalan lagi. Aku mundur sedikit kira-kira satu meter. Ling Ling pun kembali tertatih-tatih berusaha berjalan menghampiriku. Lagi-lagi setelah ia sudah cukup dekat, tubuhnya sempoyongan, dan lagi-lagi aku berhasil menangkapnya. Tubuhnya langsung ambruk ke pelukanku. Dan wajahnya tepat berada di depan wajahku, cuma berjarak lebih kurang satu senti saja.

Sejenak aku dan Ling Ling saling memandang lamat-lamat satu sama lain. Seperti ada yang menggerakkanku, terjadi suatu aliran yang aneh di dadaku. Tanpa sempat kucegah sendiri, bibirku sekonyong-konyong sudah menempel pada bibir Ling Ling yang masih pucat. Ling Ling mencoba melepaskan diri. Namun mengapa, semakin ia mencoba menghindar, semakin erat saja bibir kami menyatu. Akhirnya, ia tidak menghindar lagi, malah kelihatannya ia kini menerima bibirku dengan ikhlas.

Mengetahui penerimaan Ling Ling ini, gairahku pun timbul. Dengan berani aku mulai mengulum bibirnya yang setengah membuka. Sensual sekali disinari cahaya lilin yang remang-remang. Kulihat, Ling Ling pun tampaknya membalas kulumanku. Bahkan ia mengeluarkan lidahnya dan menjilati lidahku. Akhirnya bibir kami berdua saling memagut dan lidah kami saling menjilat. Kami melakukan 'french kissing' ini hampir selama 5 menit. Kami sudah tidak mempedulikan lagi temaramnya cahaya lilin, gelapnya malam, dinginnya udara, dan turunnya air hujan di luar gua yang semakin bertambah deras. Kami sedang terhanyut dalam nafsu birahi yang muncul secara mendadak. Terutama setelah pakaianku juga terlucuti semua.

Tanganku turun ke arah dada Ling Ling. Kutelusuri lengkungan kecil di dadanya melalui balik jaket. Ling Ling tampak menggelinjang kecil ketika jamahan tanganku mengenai suatu titik kecil di tengah-tengah lengkungan itu yang menonjol seukuran penghapus di ujung pensil. Kujilat benda mungil yang berbentuk pentil itu melalui kain jaket yang menutupinya.

Tidak sabaran, aku membuka zipper jaket yang dipakai Ling Ling. Setelah zipper itu terbuka setengahnya, aku merogohkan tangan ke dalam zipper itu ke balik jaket. Ling Ling menggeliat dan mendesis sewaktu tanganku mendarat di dadanya. Dan ia mengulanginya lagi ketika buah dadanya kuremas. Buah dada yang kecil ukurannya tapi kenyal amat mengasyikkan bagi tanganku. Baru kali ini aku mendapat kesempatan memegang buah dada seorang wanita. Dan kebetulan wanita itu adalah Ling Ling, teman sekelasku.

"Aaaaahh....." desah Ling Ling lagi waktu aku mulai menggerayangi puting susunya yang langsung saja mengeras begitu terkena jamahanku.

Seperti anak kecil menemukan permainan baru, kupermainkan puting susu Ling Ling yang kian bertambah keras. Semakin keras lagi, sejalan dengan semakin lincahnya tanganku memuntir-muntirnya. Dan semakin banyak pula, desahan yang keluar dari mulutnya. Gerinjalan tubuhnya juga semakin menggila.

Selanjutnya, aku meneruskan membuka zipper jaket Ling Ling sampai terbuka seluruhnya. Lalu kutanggalkan jaket itu, hingga terpampanglah tubuh Ling Ling telanjang bulat tanpa penutup apapun. Memang benar taksiranku selama ini. Buah dadanya memang berukuran kecil, hanya berbentuk lengkungan kecil. Tetapi lengkungan itu bentuknya membulat dan indah, serasi dengan pinggangnya yang ramping dan pantatnya yang tipis. Baru kusadari sekarang, tubuh Ling Ling begitu mulus dan putih kulitnya, hampir tanpa noda. Berbeda dengan tingkah lakunya selama ini yang begitu kelaki-lakian, sehingga berkesan tidak ada waktu untuk merawat tubuhnya, tidak seperti cewek-cewek lain lazimnya.

Ling Ling hanya memandangku dengan diam ketika kudekatkan bibirku pada buah dada mungilnya. Dengan nafsunya kukenyot buah dada yang rasanya kenyal itu. Mulutku berdecap-decap seolah-olah tengah menyedot sesuatu. Sementara itu, lidahku menjilati dan menggelitiki puting susunya yang makin mengeras. Sebentar-bentar, kuseruput puting susu yang menggiurkan tersebut. Rasanya macam-macam antara sedikit asam dan sedikit asin. Barangkali karena habis basah karena air hujan dan keringat. Tetapi yang penting, puting susu Ling Ling menjadi santapan yang lezat buat mulutku.

Mulutku berpindah lebih ke bawah. Mula-mula kujilati sekujur tubuh bugil Ling Ling, mulai dari belahan di antara buah dadaya, kemudian turun ke bawah sampai perutnya yang ramping. Di sini aku berhenti sebentar. Kucucupkan lidahku memasuki lubang pusarnya. Ling Ling menggelinjang kegelian. Lalu kujilat-jilat lubang pusarku dengan gemas. Lubang pusar Ling Ling bentuknya begitu indah, begitu bulat seperti lingkaran.

"Ooooohhhhh..... uuuuuuhhhhh....." Ling Ling melenguh panjang.

Mulutku tiba pada selangkangannya. Di tengah-tengah selangkangan itu terdapat sebuah lubang yang kecil lagi sempit dengan semacam bibir berwarna kemerahan. Di sekitar lubang tersebut dihiasi oleh rambut-rambut kehitaman. Masih jarang-jarang memang, tapi cukup membangkitkan selera siapa yang melihatnya. Nah wilayah inilah sekarang menjadi wilayah kekuasaannya mulutku dengan lidahnya yang gesit.

Kujilati wilayah kekuasaanku itu dengan penuh birahi tapi lembut. Itu pun sudah membuat pemilik asli wilayah tersebut menggelinjang tubuhnya yang mulus. Kuusap-usap dengan lidahku lingkaran seputar bibir kemerahan sedikit berlipat yang berada di mulut lubang sempit di selangkangan itu. Ketika menemukan daging kecil yang dikenal orang dengan nama clitoris di pangkal bibir kemerahan itu, lidahku berhenti bergerak. Sebagai gantinya, ia membelai-belai daging kecil yang semakin lama semakin merah tersebut. Ling Ling, sebagai pemilik daging kecil itu, tubuhnya menggeliat-geliat kencang. Dari mulutnya pun keluar desahan-desahan yang binal.

Usai berpetualang di clitoris Ling Ling, lidahku mulai masuk merambah lubang kecil dan sempit yang mulai dilumasi cairan bening yang mengalir dari dalamnya. Cairan 'pelumas' itu membuat dinding lubang itu menjadi licin dan basah, sehingga memudahkan lidahku menjelajahi seluruh permukaannya dengan bebas. Sungguh suatu sensasi yang luar biasa bagiku dan Ling Ling. Terutama bagi Ling Ling, apalagi setelah ditambah oleh rangsangan yang ditimbulkan oleh salah satu jariku yang kini menggantikan 'pekerjaan' lidahku di lubang kewanitaan Ling Ling. Sama seperti lidahku, semua 'tugas' jariku ini juga dipermudah berkat lumasan cairan 'pelumas alami' yang makin lama kian membanjir. Perlahan tapi pasti, jariku bergerak semakin maju di dalam lubang kenikmatan Ling Ling. Sejenak seperti ada sesuatu yang menghalangi perjalanan jariku sampai tujuannya. Namun dengan sekali gerakan, halangan itu berhasil diterobos, dengan sepertinya ada sesuatu yang sobek.

Ketika kutarik jariku dari dalam kewanitaan Ling Ling kulihat ada cairan merah yang membasahi jariku itu. Aku tahu apa artinya ini, dan Ling Ling pun juga tahu. Ini dibuktikan oleh air mata yang membasahi pelupuk matanya saat melihat jariku ini. Ling Ling tahu, kini pertahanannya telah berhasil dijebol. 'Benteng' yang selama ini begitu kukuh dipertahankannya, malam ini diruntuhkan begitu saja oleh teman sekelasnya, yang tak lain tak bukan adalah aku. Ling Ling belum memikirkan bagaimana masa depannya nanti sebagai seorang gadis yang telah kehilangan miliknya yang paling berharga seperti yang baru saja dialaminya kini.

Akan tetapi, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang sudah terjadi, tidak boleh ditangisi. Iya kan, Ling. Air mata kesedihan pun sudah berhenti mengalir, berganti dengan air mata tanda rasa nikmat yang tiada taranya akibat ada sebuah benda padat tapi lentur yang bergerak maju mundur dalam liang kewanitaannya. Rasa nikmat tersebut semakin dirasakannya lagi saat gerakan maju mundur itu kian tinggi akselerasinya. Apalagi ditambah dengan rasa geli akibat gelitikan-gelitikan lidah yang diterima oleh puting susunya.

Ya, kemaluanku semakin garang menerjang siapa saja yang mungkin menghadang dalam perjalanannya di dalam kewanitaan Ling Ling. Suatu tugas yang gampang-gampang susah. Gampang sebab 'jalur perjalanan' yang dilewati begitu mulus dan licin akibat terlampau banyaknya 'cairan pelumas' yang digunakan. Susah sebab 'perjalanan' ini baru pertama kali ini dialami oleh kedua belah pihak. Baik olehku, maupun oleh Ling Ling. Tetapi, berkat kami berdua yang telah menyatu padu dengan bertumpu pada satu titik, membuat segala halangan dan hadangan dalam 'perjalanan' itu menjadi sirna.

Hujan di luar gua sudah mulai mereda pada saat kami hampir tiba di akhir 'perjalanan' kami berdua. Akhirnya kami sampai di 'tujuan' kami dengan bersamaan. Dibarengi dengan lenguhan dan jeritan panjang dari kedua insan telanjang, tahap yang amat diharap-harapkan oleh pasangan yang sedang bercinta pun tercapai.

Beberapa jam berselang, suasana dalam gua pun berubah menjadi sunyi. Tidak ada suara apapun yang terdengar, kecuali suara cengkerik yang masih bersahutan di luar. Hujan pun telah lama reda. Matahari sudah ingin menampakkan sosoknya. Yang tertinggal hanyalah dua makhluk hidup berlainan jenis kelamin yang tak berpenutup apapun. Kedua tubuh bugil itu sama-sama tertidur nyenyak dengan tubuh bagian bawah mereka masih tetap menyatu, seakan-akan tiada sesuatu pun yang dapat memisahkan mereka.

Demikian terlelapnya kedua insan telanjang tersebut, sehingga mereka tidak menyadari ada suara-suara yang terdengar di mulut gua, disusul dengan beberapa langkah kaki yang memasuki gua itu. Dan dilanjutkan dengan seruan-seruan tak percaya setelah melihat apa yang diketemukan di dalam gua.

"Waduh! Gila juga ini anak dua! Dicariin ke mana-mana, eh tau-taunya malah main di sini!"

"Bener-bener keterlaluan mereka! Kita semua pada cape nyariin mereka, mereka malah enak-enakan berdua!"

"Sialan! Mendingan kita hukum apa mereka?"

"Saya punya ide. Begini saja."

Terdengar beberapa suara berbisik-bisik.

"Oke, saya setuju. Sekarang kita bangunin mereka dulu aja ya."

"Ronny! Ling Ling! Bangun! Sudah pagi nih! Jangan molor aja dong!"

Aku terjaga karena merasa tubuhku digoyang-goyang sesuatu atau seseorang. Dan langsung melompat kaget melihat siapa yang melakukannya. Seketika itu juga kontan kemaluanku langsung tertarik keluar dari dalam kewanitaan Ling Ling dengan masih meneteskan cairan kenikmatan yang masih tersisa. Segera kubangunkan pula Ling Ling yang juga langsung melompat kaget dan langsung meraih apa saja yang bisa diraih untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bulat.

"Ayo kita seret mereka dan hukum mereka."

Kemudian aku dan Ling Ling diseret oleh mereka yang ternyata para peserta pendakian gunung yang dari malam mencari-cari kami berdua. Masih dalam keadaan telanjang bulat tanpa penutup sehelai benangpun dan dengan ditonton oleh seluruh peserta, kami berdua diarak ke tempat perkemahan di kaki gunung.

Setiba di tempat perkemahan kami, aku dan Ling Ling disuruh berbeda di suatu areal terbuka di tengah-tengah perkemahan yang dimaksudkan sebagai tempat api unggun pada malam hari. Angin pagi di pegunungan begitu dingin terasa di kulit kami berdua yang tidak memiliki penutup apapun. Akhirnya dengan ditonton oleh puluhan pasang mata aku dan Ling Ling berdiri dengan perasaan bercampur antara malu, takut, dan gelisah. Ada beberapa di antara penonton kami yang terlihat malu-malu, terutama cewek-cewek. Tetapi tak sedikit pula, khususnya cowok-cowok yang begitu antusias menyaksikan kedua tubuh kami yang bugil, terutama tubuh ramping Ling Ling yang putih dan mulus. Setegar-tegarnya Ling Ling, akhirnya ia tidak dapat menahan tangisnya juga. Dengan terisak-isak ia mencoba berlindung di balik badanku untuk melindungi tubuhnya yang telanjang dari tatapan mata binal para penonton kami.

Ternyata penderitaan itu belum berakhir sampai di sini. Sebagian besar kerumunan di sekeliling aku dan Ling Ling berteriak-teriak menyuruh kami berdua berbuat lebih jauh di depan mereka, walau ada pula yang melarangnya. Tetapi akhirnya pemimpin rombongan mengambil keputusan mengabulkan keinginan mereka untuk menonton aku menggauli Ling Ling di hadapan mereka.

Keputusan ini bagaikan halilintar yang menyambar kami berdua. Tapi apa boleh buat, kami terpaksa harus mematuhinya juga, daripada kami akan dibiarkan telanjang bulat seterusnya di tengah-tengah hawa pegunungan yang dingin bila tidak mau melakukannya. Isak tangis Ling Ling pun kian menjadi-jadi. Bahkan aku yang mencoba membujuknya tidak berhasil juga.

Akhirnya dengan berat hati, kutempelkan tubuhku ke tubuh Ling Ling. Begitu tubuh kami menyatu dan dadaku menempel dengan buah dadanya yang hampir rata, seketika itu ada semacam aliran aneh yang menjalari kami berdua. Tangis Ling Ling pun berhenti. Dengan diiringi tatapan-tatapan
para penonton yang melongo-longo keheranan, kami tampaknya melupakan apa yang baru saja terjadi. Kami sudah melupakan bahwa kami saat ini tengah dihukum dam dipermalukan di depan banyak orang. Nafsu birahi yang kembali timbul dan intensitasnya mulai meninggi sepertinya menghanyutkan kami hingga kami lupa akan segala-galanya.

Dengan gairah yang tinggi kulumat bibir Ling Ling yang mungil dan ia membalasnya dengan gairah yang sama. Lidah kami berdua saling mempermainkan dalam rongga mulut kami masing-masing. Sementara kemaluanku mulai merambah masuk ke dalam lubang kewanitaan Ling Ling yang menganga cukup lebar di selangkangannya. Dengan segera kugerak- gerakan kemaluanku itu maju-mundur di dalam liang kenikmatan tersebut, dibarengi pula dengan gerakan-gerakan pantat Ling Ling yang ikut maju-mundur berusaha mengimbangi genjotanku. Para penonton pun semakin terpana melihat permainan cinta yang baru pertama kali disaksikan oleh sebagian besar dari mereka. Begitu panasnya persetubuhan yang mereka saksikan, ada beberapa orang yang kelihatan bergetar hebat tubuhnya. Sebagian lagi yang tidak tahan menyaksikan permainan cinta kami langsung ambil langkah mundur dan masuk ke tenda mereka masing-masing.

Sementara di atas mulutku masih saling berpagutan dengan mulut Ling Ling, di bawah permainan kemaluanku di dalam kewanitaan Ling Ling juga masih terjadi, malah semakin cepat. Tak ayal lagi, lenguhan-lenguhan keras bermuncratan dari mulut kami berdua. Diimbangi dengan kedua tubuh kami yang melonjak-lonjak keras. Semakin lama semakin bertambah panas. Tetapi nafsu birahi yang membulak-bulak seolah-olah telah menenggelamkan kami berdua. Tiada lagi rasa malu, rasa takut, rasa canggung, dan sebagainya. Yang tersisa hanya rasa nikmat yang luar biasa dan tak terlukiskan oleh apapun. Sampai di suatu titik puncak di mana kami bersama-sama meregang, meluapkan segala macam rasa yang begitu hebatnya hingga meresap sampai ke ujung tulang kami.

Hari itu pula, Ling Ling langsung pulang ke rumah dengan diantar salah seorang peserta yang sejak tadi termasuk salah seorang yang menentang hukuman yang kami terima. Dan sejak saat itu pula, aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Baik di sekolah maupun di tempat lain. Dari berita terakhir yang kuterima, kudengar ia bersama keluarganya telah pindah tempat meninggalkan kota Jakarta ini.

Dalam hatiku timbul penyesalan yang paling dalam, mengapa aku berbuat khilaf dan tega-teganya berbuat yang tidak-tidak pada diri Ling Ling, sehingga dirinya menjadi korban seperti ini. Segala macam rasa bercampur baur dalam benakku, rasa iba, rasa menyesal, rasa ingin melindungi, rasa kasih, dan..... rasa cinta..... Ling, di manakah sekarang kamu berada di saat-saat aku merasakan sesuatu yang lain terhadapmu? Ya, di saat aku mulai merasakan ada rasa cinta di hatiku padamu!

Di Hutan


Sebenernya gue cuma mau jalan-jalan doang hari itu. Soalnya di rumah gue suntuk, akhirnya ya gue putusin buat jalan-jalan di hutan sekedar buat refreshing. Setelah lama jalan-jalan dan hari sudah menjelang sore, hutan itu juga udah mulai gelap, gue melihat ada sosok yang lagi jalan ke arah gue. Makin lama, makin jelas ternyata dia cewek, gue tebak umurnya nggak lebih dari 15 taun, malah mungkin kurang karena tubuhnya masih langsing dan dadanya juga belon begitu besar. Dia pakai celana pendek sama t-shirt.

Buset, pahanya yang putih itu bikin gue menelan ludah. Pasti dia anak orang kaya yang lagi berkemah atau menginap di salah satu villa yang ada di sekitar hutan ini. Gue nggak tau kenapa dia bisa sampai masuk hutan, sendirian lagi, yang jelas gue nggak tahan kalo musti ngelepasin kesempatan yang baek ini, karena gue kebetulan udah lama nggak pernah ngerasain gimana nikmatnya tidur sama anak di bawah umur.

Gue cepet-cepet merunduk ke semak-semak yang ada sambil menunggu dia lewat. Begitu dia lewat langsung gue sergap dari belakang sambil menutup mulutnya, soalnya biar udah malem, tapi kita masih ada di pinggiran hutan, jadi gue nggak mau ambil resiko orang denger teriakan anak ini. Sambil meronta-ronta, gue bawa dia masuk lebih jauh ke tengah hutan. Kalo udah masuk di dalem hutan, gue jamin nggak ada yang bisa denger teriakan dia, soalnya orang-orang di sekitar situ percaya kalo hutan itu angker, padahal mereka nggak tau kalo ada tempat seukuran yang rada lapang tempat gue biasa nyepi. Ketika pas gue sampe ke tempat pribadi gue, pas ada sinar bulan purnama yang menerangi tempat itu, kebeneran juga soalnya sekitar gue udah gelap gulita.

"Lepaskan! Lepaskan! Jangan Om!" dia langsung berteriak-teriak ketika mulut gue lepas dari mulutnya. Om? Enak aja dia panggil gue Om, langsung aja gue kepalkan tangan gue dan gue pukul di keras-keras di perut. Dia langsung tersungkur ke tanah sambil megangin perutnya dan mengerang. Nggak cuma itu, langsung gue tendang punggungnya sampe dia berguling-guling nabrak batang pohon yang udah roboh. Setelah itu gue tarik rambutnya yang sebahu sampe mukanya deket sama muka gue.

"Sekarang dengerin anak kecil!" kata gue pelan tapi pasti. "Gue bukan om elo, tapi elo sebaeknya jangan banyak tingkah, kalo nggak mau mati! Gue cuma pengen ngajarin elo kesenengan yang belon pernah elo dapetin di sekolah elo! Tau?!" Dia cuma menangis sambil mendorong-dorong-dorong gue, tapi tenaganya sudah lemah gara-gara gue tendang tadi.

"Jawab goblok!" bentak gue sambil menampar pipinya berkali-kali sampe memerah.

"Ampuuun, ampun!" dia menjerit kesakitan karena tamparan gue tadi. Gue langsung saja nggak buang waktu, dia langsung gue dorong ke batang kayu roboh tadi, sambil gue tindih, gue telanjangin dia. Mulai dari t-shirtnya terus celana pendeknya, gue tarik bh-nya sampe putus. Terakhir gue lepasin juga celana dalemnya sekaligus sepatu sama kaos kakinya. Akhirnya dia telanjang bulat sambil meronta-ronta karena tangannya gue pegangin sama tangan kiri gue. Wow, kulitnya bener-bener putih mulus, dadanya belon begitu besar tapi sudah membulat, vaginanya juga masih jarang rambutnya. Dia mengerang lemas ketika gue raba dan remas dadanya.

"Hei, lo suka ya?! Sabar aja ntar gue tunjukin yang lebih enak!" Gue melihat sekeliling gue, dan gue akhirnya nemu cabang pohon dengan diameter sekitar 5 cm. Dia sudah nggak bisa bergerak karena kesakitan gara-gara pukulan gue, tapi buat amannya gue pukulin juga tuh cabang ke perutnya berkali-kali sampe perutnya membiru. Dia masih sadar tapi yang pasti dia nggak bakalan bisa bergerak buat lari dari gue.

"Nah, enaknya gue mulai dari mana nih?" tanya gue sama dia. "Dari depan atau dari belakang?" Dia cuma bisa mengeluarkan desahan sakit, sambil mengeleng-gelengkan kepalanya.

"Gue mulai dari depan aja ya? Pasti lo masih perawan kan?" Selesai ngomong itu, gue langsung mendorong cabang pohon tadi masuk ke vaginanya. Karena sempit gue sampe musti melebarkan bibir vaginanya supaya cabang tadi bisa masuk sedikit. Dia merintih-rintih ketika cabang tadi mulai masuk sedikit demi sedikit. Gue terus mendorong cabang tadi sambil memutar-mutarnya. Dia langsung menjerit kesakitan ketika gue lakukan itu. Itu yang gue pengen denger dari tadi, kontol gue langsung tegang banget. Ketika dia menjerit sekeras-kerasnya gue merasa cabang pohon tadi nggak bisa masuk lebih dalem lagi. Lalu gue mulai menarik dan mendorong cabang tadi sambil memutar-mutarnya, yang pasti bakalan membuat dia lebih kesakitan kalo gue denger dari jeritannya. Kepalanya mengeleng-geleng sampai terantuk-antuk ke batang pohon tempat dia berbaring sampai memohon gue agar gue berhenti. Goblok bener dia, tentu saja gue nggak bakalan berhenti! Setelah beberapa kali tusukan, cabang pohon tadi mulai berubah jadi merah, karena darah yang keluar dari vaginanya. Ada juga yang meleleh keluar dan mengalir turun lewat pahanya. Gue terus menusuk-nusuk vaginanya sampe sekitar 10 menit, sampe dia nggak bisa mengerang hanya bisa mendesah dan mengigit bibir kesakitan. Gue liat ada darah juga di sekitar bibirnya gara-gara digigit terlalu keras sama dia.

Akhirnya gue nggak bisa tahan lagi, gue musti masukin kontol gue. Langsung saja gue buka celana gue, kontol gue langsung bergoyang-goyang tegang. Lalu gue cabut cabang pohon tadi dari vaginanya, gue liat bibir-bibir vaginanya langsung menutup lagi, diiringi tarikan nafas anak itu. Karena gue udah nggak tahan lagi, lagsung aja gue balikin badannya yang sudah lemah lunglai itu sehingga pantatnya menghadap ke arah gue. Gue buka belahan pantatnya, gue liat lobangnya kecil sekali, wah dia bakalan kesakitan kalo gue masukin kontol gue, tapi gue nggak peduli, yang jelas gue nggak bisa bayangin gimana nikmatnya jepitan lobang itu. Sambil membuka belahan pantatnya gue arahin kepala kontol gue ke lobang kecil tadi, lalu gue pegang bahu anak tadi erat-erat sambil mulai mendorong masuk.

Ya Tuhan, sempit banget, gue sampe meringis-ringis, dia juga mulai meronta-ronta begitu sadar apa yang bakalan gue kerjain di pantatnya. Tapi pelan-pelan, lobang tadi mulai membuka buat kontol gue, mulai masuk sampai kepala kontol gue dan terus maju pelan-pelan. Ketika gue dorong kontol gue, dia kembali merintih-rintih seakan-akan kehabisan nafas.

Akhirnya dengan dorongan terakhir yang keras masuk juga kontol gue ke lobang pantatnya. Lalu gue nggak nunggu-nunggu lagi, langsung aja gue maju mundur. Gue nggak pelan-pelan lagi sekarang, gue gerakin pinggul gue cepat dan keras. Sampai badan anak tadi terguncang-guncang, terdorong maju mundur. Gue liat dada dan perutnya mulai berdarah-darah karena bergesekan dengan kulit pohon yang kasar. Lama kelamaan kontol gue jadi kemerah-merahan, selain gara-gara sempit sekali, ada juga darah yang nempel ke kontol gue. Sekitar 15 menit gue gerakin pinggul gue, darah yang keluar udah ada di mana-mana. Sampe meleleh turun lewat pahanya ke tanah.

Gue merasa gue bakalan keluar nggak lama lagi, begitu sudah hampir puncaknya, gue langsung cabut kontol gue dan langsung gue tarik rambut anak itu. Dia langsung mengerang sakit, dan saat itu juga gue masukin kontol gue ke mulutnya yang terbuka. Dia langsung tersengal-sengal karena kontol gue masuk langsung masuk ke kerongkongannya, bikin dia sulit bernafas. Dia berusaha menarik kepalanya tapi nggak bisa, malah gara-gara gerakannya itu dan gesekan kontol gue dengan lidahnya gue nggak bisa nahan lagi. sambil mengerang gue keluarin sperma gue ke mulutnya langsung masuk lewat kerongkongan. Gue liat dia melotot ketika ada cairan ketal masuk ke kerongkongannya. Gue tahan kontol gue di mulut anak itu sampe sekitar satu menit, sampe sperma gue habis gue keluarin ke mulutnya, ada juga yang gue liat meleleh keluar, mengalir lewat dagu, leher dan nempel di puting susunya.

Akhirnya gue tarik kontol gue yang udah mulai lemas dari mulutnya. Dia langsung tersungkur ke tanah dan muntah-muntah ngeluarin isi perutnya.

"Dasar lo goblok nggak tau barang enak!" kata gue. "Muka lo kotor tuh, gue bersiin ya?!" sambil berkata itu gue langsung kencing ke mukanya, air seni gue membasahi seluruh muka, rambut sampe dadanya. Langsung aja dia muntah-muntah lagi sampe lemas nggak berdaya, karena nggak ada lagi yang bisa dikeluarin dari perutnya.

Jam gue udah nunjukin jam 2 pagi, ketika gue kembali berpakaian. Gue hampiri dia yang tergolek lemas, gue liat air matanya mengalir terus biarpun dia nggak ngeluarin suara tangisan.

"Lo mau lagi?" tanya gue. Dia nggak bergerak cuma gue liat mukanya yang pucat tambah pucat lagi. "Ah, tapi punya lo udah rusak gara-gara ini. Gue jadi nggak nafsu!" kata gue. "Laen kali aja deh!" kata gue sambil nunjukin cabang pohon yang berlumuran darah ke mukanya.

Setelah selesai gue ngomong itu, langsung aja gue pukul dadanya pake tuh cabang, gue pukul punggungnya, pahanya, vaginanya. Kadang juga gue tendang perutnya sampe dia nggak bergerak lagi, matanya melotot ngeri. Gue raba nadinya, ternyata masih ada denyutan. Gue langsung berdiri dan berjalan ninggalin dia keluar hutan. Gue nggak peduli mau ada yang nemuin dia atau nggak, kalo dia nggak kuat dia bakalan mati juga. Lagipula gue siang nanti mo ke Jepang, jadi nggak ada yang bisa nemuin gue!

Apartemen Celaka


Aku tidak menduga sebelumnya jika hari itu perbuatan laknat tersebut menimpa diriku. Bahkan siapa yang menyangka bahwa kerusuhan itu sampai melanda tempat tinggalku di apartemen yang tergolong baru.

Pagi itu, seperti pukul 8.00, seperti biasa cerah, tak ada tanda-tanda akan terjadi kerusuhan. Tapi suasana di kota sudah sedikit mencekam. Apalagi setelah aku ditelepon oleh temanku di malamnya, bahwa saat itu di daerahnya terjadi kekacauan. Beberapa toko mulai dijarah dan dibakar termasuk toko kertas milik keluarganya.

Hari itu, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, kampusku diliburkan hingga suasana normal kembali. Sementara Papa masuk kerja seperti biasa, meskipun sempat ketar-ketir hatinya waktu berangkat.

Sambil tidur-tiduran di tempat tidur, kusetel radio favoritku. Ternyata laporan pandangan mata reporter radio tersebut membuat hatiku semakin tidak tenang. Apalagi aku tinggal hanya berdua dengan Mama di lantai 10 apartemen ini. Aku adalah anak tunggal. Reporter itu mengabarkan bahwa saat itu, massa mulai membanjiri seputar pusat kota. Jalan-jalan di sekitarnya diblokir. Suasana mulai panas.

"Ma. Mama. Sini, Ma," aku memanggil-manggil Mama yang sedari tadi nonton televisi.

"Ada apa, Lin."

"Ma, suasana kota tambah gawat. Tuh Mama dengar sendiri aja di radio. Papa gimana tuh, Ma?" Aku menguatirkan keselamatan Papa yang bekerja di daerah pusat bisnis. Demikian pula dengan Mama.

Setelah itu aku kembali menyimak radio yang biasanya selalu memutar lagu-lagu yang enak didengar kadang-kadang diselingi beberapa informasi penting, tapi hari itu sebaliknya, lebih banyak informasi liputan pandangan matanya, sedangkan lagu-lagunya hanya satu-dua saja.

Sekitar pukul 8.45, dikabarkan oleh radio tersebut, bahwa situasi di sekitar kantor radio tersebut sudah semakin gawat. Bahkan asap sudah mulai mengepul di beberapa tempat. Tandanya sudah ada beberapa pembakaran oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Beberapa menit kemudian telepon di meja kecil di samping tempat tidurku berdering. Kuangkat gagang telepon.

"Linda?"

"Yes."

"Lin, ini Evy. Di daerah gue gawat, Lin. Ruko-ruko udah mulai dijarah. Malah ada lagi yang dibakar."

Ternyata itu telepon dari Evy, sahabat karibku yang tinggal di daerah yang memang sedang kacau terus dari kemarin siang.

Pukul sembilan, telepon berdering lagi. Kali ini pacarku, Hendri, mengabarkan bahwa massa mulai bergerak di daerah tempat tinggalnya tersebut. Sebagian melakukan perusakan dan pembakaran di situ, dan sebagian lagi bergerak ke arah Timur. Ya ampun! Celaka. Tempat tinggalku berada di sebelah Timur tidak jauh dari situ.

Jantungku berdegup-degup kencang. Aku takut jika massa bertindak macam-macam di daerah tempat tinggalku itu. Ah, tapi hatiku sedikit tenang mengingat penjagaan keamanan di apartemen tempat aku tinggal ini yang cukup ketat 24 jam. Tidak mungkin ada yang masuk sembarangan.

Lebih kurang pukul 9.15.....

"Tok tok tok." Terdengar suara orang mengetuk pintu dengan cukup keras.

"Ma. Linda aja yang buka pintu," aku langsung berlari kecil ke pintu dan membukanya.

Ternyata yang mengetuk pintu adalah tetanggaku, Joni. Ia langsung masuk ke dalam dengan tergopoh-gopoh.

"Pak. Pak Joni. Ada apa?" tanyaku keheranan. Mama pun langsung menghampiri kami berdua.

"Lin, Bu Susi. Keadaan gawat. Apartemen ini sudah dikepung massa. Mereka beringas sekali."

Aku dan Mama berpandangan dan langsung menjadi panik. Tapi Joni menenangkan kami.

"Lin, Bu Susi. Moga-mogaan mereka nggak naik ke sini. Lagian kan satpam di bawah banyak."

Namun itu tidak bertahan lama. Tak lama kemudian ada teman yang tinggal di lantai 4 yang menelepon. Ia mengabarkan bahwa massa sudah mulai naik ke lantai 2 apartemen ini. Saat itu juga kami bertiga takut bercampur panik. Dalam hati kami berdoa agar kami selamat. Setelah itu kami bersiap-siap untuk mengungsi kalau keadaan di sini sudah tidak memungkinkan lagi. Joni pamitan ke sebelah untuk membereskan barang-barangnya juga, sedangkan aku dan Mama mengemas pakaian masing-masing ke dalam tas jinjing.

"Dok! Dok! Dok!" Aku terperanjat. Pintu diketok keras sekali.

"Lin! Jangan dibuka pintunya!" Mama berteriak dari kamarnya mencegahku membuka pintu.

Dengan perasaan mencekam dan takut sekali, aku kembali berdoa. Sejenak hatiku merasa tenang ketika ketokan di pintu itu sudah berhenti. Ternyata doaku dikabulkan. Namun.....

"Gedubrak!" Pintu depan didobrak orang dan beberapa orang masuk ke dalam dengan muka beringas. Beberapa di antaranya masuk ke kamar Mama
dan yang lainnya ke kamarku. Karena pintu kamarku tidak kututup, mereka langsung masuk ke dalam dan berdiri mengelilingi.

"Heh! Cewek! Mau lari ke mana lu, Hah!" bentak salah seorang di antaranya.

"Jangan, Mas! Jangan!" Aku menjerit-jerit sejadi-jadinya meminta agar aku tidak diapa-apakan.

"Mas! Mas! Sejak kapan gua jadi kakaklu?! Lagian ngapain gua punya adik kayak lu!" timpal yang lain.

"Eh, Bong. Cewek yang ini lumayan juga."

Orang yang dipanggil "Bong" itu mendekatiku. Kulitnya yang hitam di tambah perawakannya yang tinggi besar (lebih tinggi daripadaku yang 171 cm) membuatku kecut. Apalagi ia mengitariku sambil memandangi tubuhku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

"Bener juga! Montok juga ini cewek satu!"

Tiba-tiba si "Bong" menyergapku dari belakang. Kedua tangannya meremas-remas kedua belah payudaraku.

"Eeeihh! Jangaaann!" Aku semakin terteriak-teriak.

Akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang menggubrisku, bahkan mereka semua semakin dekat mengepungku. Sementara si "Bong" tangannya masih asyik memencet-mencet payudaraku sehingga membuatku
merintih-rintih kesakitan. Aku meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Tapi tenaga si "Bong" ini jauh lebih kuat daripadaku. Menyadari usahaku ini sia-sia, akhirnya aku memasrahkan diri saja. Terserah mereka berbuat apa saja terhadap diriku. Asalkan saja nyawaku selamat.

Melihat aku yang sudah pasrah, salah seorang teman si "Bong" menyingkap rok dasterku ke atas. Matanya kulihat melotot menyaksikan pahaku yang putih dan mulus. Sempat kulihat pergerakan di selangkangannya. Tapi aku tak mampu lagi berbuat apa-apa. Kemudian ia bersama dengan temannya yang lain meraba-raba kedua belah pahaku itu. Sementara di atas, payudaraku terus digumuli oleh tangan si "Bong" dengan ganasnya. Dan.....

"Sreek! Sreekk!"

Dengan sekali tarikan keras, si Bong mencoba menyobek bagian atas daster yang kupakai. Awalnya susah memang, sebab dasterku ini memang terbuat dari bahan yang tidak mudah sobek. Namun akhirnya berkat bantuan temannya yang lain, dasterku ini terkoyak juga sampai ke perut. Tinggal menyisakan tubuh bagian atasku yang hampir telanjang dengan hanya ditutupi oleh BH saja. Melihat kedua payudaraku yang tidak begitu besar namun amat kurawat menyembul di balik BH yang kukenakan, si "Bong" dan teman-temannya kelihatan semakin bernafsu untuk menggagahiku.

Tak lama kemudian, si "Bong" melepaskan tali pengikat BH-ku, sehingga payudaraku yang menggantung dengan indahnya di dadaku terlihat bebas tanpa penutup apapun. Melihat pemandangan indah sejenak orang-orang yang mengepungku tertegun. Kumanfaatkan kebengongan mereka. Segera aku mencoba berlari ke arah pintu kamar. Tapi celaka, seseorang dari mereka langsung menangkap tanganku, lalu ditariknya dengan keras. Kemudian ia mendorongku dengan keras, sehingga membuatku jatuh tertelentang di kasur.

"Jangan! Jangan, Mas, Bang! Jangan perkosa saya! Nanti akan saya kasih uang!"

"Dasar lu! Emangnya gue mau makan uang dari lu!"

Si "Bong" yang tampaknya seperti pemimpin mereka langsung menindih tubuhku. Ibu jari dan telunjuknya menjepit puting susuku dengan keras. Aku menjadi meringis menahan sakit dibuatnya. Sementara ia mengeluarkan sebilah pisau lipat dari sakunya.

"Heh, cewek. Lu kalo kagak mau nurut sama gua, ntar pentil lu ini gua potong. Mau lu jadi cewek kagak punya pentil!" Si "Bong" mengancam akan memotong putting susuku dengan pisau lipatnya jika aku tidak mau menuruti kemauannya. Akhirnya aku diam saja.

"Nah, begitu namanya jadi cewek yang manis. Dul! Celana dia!"

Temannya yang dipanggil dengan "Dul" itu memegang celana dalamku yang kemudian ditariknya turun ke bawah. Sementara itu si "Bong" memotong kain dasterku yang tersisa, sehingga tubuhku menjadi terpampang bebas seutuhnya. Dan tanpa mau membuang-buang waktu, si "Bong" langsung membuka retsleting celananya dan mengeluarkan penisnya dari dalamnya. Lalu ia menghampiriku dan kembali menindih tubuhku.

Aku menjerit cukup keras ketika penis si "Bong" amblas seluruhnya ke dalam kewanitaanku. Seraya mulutnya melumat payudara dan puting susuku. Ia terus memompa penisnya naik-turun di dalam kewanitaanku. Aku meronta-ronta menahan rasa sakit yang terhingga. Kewanitaanku yang masih perawan dan sempit itu dihajar begitu saja oleh penis si "Bong".

Akhirnya, si "Bong" dan teman-temannya yang berjumlah seluruhnya lima orang itu secara bergiliran mengagahiku. Rasa-rasanya aku seperti hampir pingsan akibat rasa lelah dan rasa sakit yang menjadi-jadi di selangkanganku. Namun begitu setiap aku kelihatan hampir tak sadarkan diri, orang yang sedang menggagahiku menampar pipiku dengan cukup keras untuk menyadarkanku kembali. Begitu seterusnya, hingga kelima orang itu berhasil memperkosaku dengan "sukses".

Ternyata penderitaanku belum berakhir. Dengan tertatih-tatih aku diseret keluar ke koridor apartemen dalam keadaan bugil. Aku tidak mengetahui keadaan ibuku lagi. Yang kutahu hanya saat aku diseret keluar, kudengar ibuku menjerit-jerit kencang dari dalam kamarnya yang pintunya tertutup rapat. Dan astaga! Di koridor aku menjumpai Joni yang tergeletak babak belur di lantai sedang digebuki oleh empat orang. Aku juga tidak tahu apakah Joni masih hidup ataukah sudah tiada.

"Sur! Nih, gua serahin cewek ini buat jadi santapanlu!" Si "Bong" berteriak kepada salah orang pengeroyok Joni sambil mendorong tubuhku dengan keras.

Aku yang memang sudah lemas langsung terjerembab ke lantai koridor. Orang yang dipanggil "Sur" itu menarik tanganku dan menyuruhku berdiri. Dengan susah payah akhirnya aku berhasil berdiri juga. Setelah melihat sekujur tubuhku yang telanjang bulat, ia berteriak kepada temannya.

"Weh, Den! Boleh juga ini cewek! Kita kerjain die sekarang!"

Aku pun diseret kembali. Kali ini oleh si "Sur", si "Den", dan dua orang temannya. Si "Den" membuka pintu tangga darurat. Tubuhku pun yang hampir tak berdaya diseret masuk ke dalam. Akhirnya aku dibaringkan tertelentang di anak tangga darurat, dan kembali aku digagahi. Kali ini oleh empat orang. Mereka bergantian memperkosaku. Akhirnya aku sudah tidak mengetahui lagi sudah berapa orang dari mereka yang telah menikmati tubuhku karena aku langsung tak sadarkan diri.

* * *

Hari ini adalah tepat dua minggu setelah hari naas itu. Bayangkan! Aku menjadi korban perkosaan oleh sembilan orang sekaligus! Mama, wanita separuh baya yang berusia 39 tahun, juga diperkosa oleh orang-orang biadab itu. Sementara itu, tetanggaku Joni ternyata menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit.

Sejak saat itu sampai kini aku belum masuk kuliah. Rasa traumaku belum juga hilang. Beberapa orang teman kuliahku seringkali menjengukku yang kini untuk sementara tinggal di rumah saudaraku di Jatinegara. Tapi aku bukan Linda yang dulu. Aku sekarang adalah Linda yang lain. Sudah tidak ada lagi Linda yang bawel, Linda yang ceria. Yang tersisa sekarang hanyalah Linda yang pendiam dan Linda yang sering termenung! Entah, sampai kapan aku bisa melupakan semua kejadian pahit ini? Entah!

Aku


Pagi hari. Aku baru saja bangun tidur. Udara terasa segar setelah Jakarta diguyur hujan deras semalaman. Kukenakan kaus oblong tanpa lengan dan celana pendek ketat yang menampakkan lekuk-lekuk pantatku yang begitu menggiurkan. Aku berjalan ke halaman depan.

"Aha... Koran baru sudah datang," kataku dalam hati melihat suratkabar pagi terbitan hari ini tergeletak di dekat pintu pagar. Kuambil suratkabar itu. Langsung aku menclok di kursi di teras sambil membacanya. Sebagai mahasiswa fakultas ekonomi aku amat menyukai berita-berita tentang perekonomian Indonesia termasuk krisis ekonomi berkepanjangan yang tengah melanda Indonesia. Kubolak-balik halaman-halaman suratkabar. Mataku tertumbuk pada sebuah iklan satu kolom yang cukup mencolok.

"Dicari, gadis berusia 17 sampai 25 tahun. Wajah dan penampilan menarik. Bertubuh ramping. Tinggi minimal 165 cm dengan berat yang sesuai. Dapat bergaya. Berminat untuk menjadi fotomodel. Peminat diharapkan datang sendiri ke ........ Agency, Jl. Cempaka Putih .........., Jakarta Pusat."

"Aku bisa diterima apa nggak ya?" Aku bertanya dalam hati. Memang sih, kupikir-pikir aku memenuhi syarat-syarat yang diminta. Usiaku baru menginjak 20 tahun. Tubuhku ramping dengan tinggi 170 cm, seimbang dengan ukuran dadaku yang di atas rata-rata wanita seusiaku. Wajahku cantik. Teman-temanku bilang aku perpaduan antara Luna Maya dan Nadina Chandrawinata. Tapi menurutku sih mereka terlalu memujiku berlebih-lebihan.

Ah, coba-coba saja aku melamar. Siapa tahu aku diterima jadi foto model. Kan lumayan buat menambah penghasilan. Aku masuk ke dalam rumah, ke kamarku.

"Pakai baju apa yang enaknya?" batinku.

Ah ini saja. Kukenakan blus biru muda dan celana panjang jeans belel yang cukup ketat yang baru saja beberapa hari yang silam kubeli di Bandung.

Mobil Honda Jazz yang kukendarai memasuki jalan yang disebut dalam iklan. Ah, mana ya nomor .....? Nah ini dia. Rumahnya sih cukup mentereng. Di halamannya terpampang papan nama ".......... Agency Photo Studio & Modelling. Menerima anggota baru." Wah benar ini tempatnya. Kuparkir mobilku di pinggir jalan. Di sana sudah banyak bertengger mobil-mobil lain. Aku masuk ke dalam. Astaganaga. Di dalam sudah banyak cewek-cewek cantik. Pasti mereka juga adalah pelamar sepertiku. Sejenak mereka memandangku ketika aku masuk. Mungkin mereka kagum melihat kecantikan
wajahku dan kemolekan tubuhku. Kucari tempat duduk yang kosong setelah
sebelumnya mendaftarkan diriku di meja pendaftaran. Gila, hampir semua tempat duduk terisi. Nah, itu dia ada satu yang kosong di sebelah seorang cewek yang cantik sekali, keturunan indo. Tampangnya mirip Angelina Jolie. Kelihatannya ia sebaya denganku. Tapi astaga, ia memakai baju yang berdada rendah alias "you can see" dan rok jeans mini yang cukup ketat, sehingga menampakkan pangkal payudaranya yang berukuran cukup besar. Ia nampak memandangku dan tersenyum. Melihatnya aku menjadi minder. Wah, sainganku ini top sekali. Apakah mungkin aku terpilih menjadi foto model di sini? Satu persatu para pelamar dipanggil ke ruang pengetesan, sampai si indo di sampingku tadi dipanggil juga. Semua pelamar yang sudah dites keluar lewat pintu lain. Akhirnya namaku dipanggil juga.

"Hanny Kusumastuti dipersilakan masuk ke dalam."

Aku pun masuk ke dalam dan disambut oleh seorang pria bertubuh agak gemuk.

"Kenalkan aku Adolf, direktur sekaligus pemilik agensi ini. Siapa nama kamu tadi? Oh ya, Hanny, nama yang bagus, sebagus orangnya. Sekarang giliran kamu dites. Coba kamu berdiri di sana."

Aku pun menurut saja dan menuju tempat yang ditunjuk oleh Adolf, di bawah lampu sorot yang cukup terang dan di depan sebuah kamera foto.

"Coba kamu lihat-lihat contoh-contoh foto ini. Pilih lima gaya di antaranya. Aku akan mengetes apakah kamu bisa bergaya. Jangan malu-malu, don't be shy!" kata Adolf sembari memberiku sebuah album foto. Aku melihat-lihat foto-foto di dalamnya. Ah ini sih seperti gaya fotomodel di majalah-majalah! Mudah amat! Lalu aku memilih lima gaya yang menurutku bagus. Setelah itu, jepret sana, jepret sini, lima gaya sudah aku berpose dan dipotret. Tapi Adolf belum mempersilakan aku keluar ruangan. Dia kelihatannya seperti berpikir sejenak.

"Nah, sekarang, Han. Coba kamu buka kancing-kancing bagian atas blus kamu. Nggak usah malu. Biasa-biasa ajalah!"

Kupikir tak apa-apalah kali ini. Kubuka beberapa kancing atas blusku sehingga terlihat BH yang kupakai. Mata Adolf sekilas berubah melihat pangkal payudaraku yang montok. Lalu aku dipotret lagi dengan pose-pose yang sensual.

"Nah, begitu kan yahud. Sekarang coba buka baju kamu semuanya."

Wah! Ini sih mulai kelewatan!

"Ayolah, jangan malu-malu!"

Sebenarnya dalam hati aku menolak. Akan tetapi biarlah, karena aku sejak kecil selalu mengidam-idamkan ingin menjadi foto model. Dengan perlahan-lahan kutanggalkan blus dan celana panjangku. Mata Adolf tanpa berkedip memandangi tubuh mulusku yang hanya ditutupi oleh bh dan celana dalam. Aku sedikit menggigil kedinginan hanya berpakaian dalam di ruangan yang ber-AC ini. Namun Adolf tidak mengindahkannya. Ia malah menyuruhku menanggalkan busana yang masih tersisa di tubuhku. Ah, gila ini! Tapi cuweklah, hanya berdua ini! Lalu dengan membelakangi Adolf, kulepas bh-ku. Kusilangkan tanganku di dada menutupi payudaraku.

"Han, masak kamu balik badan begitu. Bagaimana aku bisa mengetesmu."

Aku membalikkan tubuh menghadap Adolf. Adolf menyuruhku menurunkan tangan yang menutupi payudaraku. Adolf terpana menyaksikan payudaraku yang montok dan berisi dengan puting susunya yang tinggi menantang berwarna kecoklatan segar, tanpa tertutup oleh selembar benang pun. Aku menjadi risih pada pandangan matanya. Adolf menyuruhku mencopot celana dalamku. Ia semakin melotot melihat bagian kemaluanku yang ditumbuhi oleh rambut-rambut halus yang masih tipis. Sekilah kulihat kemaluan di balik celana panjangnya menegang.

"Nah, sekarang kamu diam di situ. Akan kuukur tubuhmu, apakah memenuhi syarat," kata Adolf sambil mengambil meteran untuk menjahit. Pertama kali dia mengukur ukuran vital dadaku. Ia melingkarkan meterannya melalui payudaraku. Dengan sengaja tangan Adolf menyentil puting susuku sebelah kanan sehingga membuatku meringis kesakitan. Tapi aku diam merengut saja.

"Kamu beruntung memiliki payudara yang indah seperti ini," kata Adolf sambil mencolek belahan payudaraku.

"Nah, sudah selesai sekarang." Aku merasa lega. Akhirnya selesailah pelecehan seksual yang terpaksa kuterima ini.

"Jadi saya sudah boleh keluar?" tanyaku.

"Eit! Siapa bilang kamu sudah boleh keluar?! Nanti dulu, manis!"

Wah, kacau! Apa gerangan yang ia inginkan lagi?

"Susan!" Adolf memanggil seseorang.

Seorang gadis cantik keluar dari ruangan lain, telanjang bulat. Ya ampun, ternyata ia adalah cewek indo yang tadi duduk di sampingku di ruang tunggu. Payudaranya yang montok bergantung indah di dadanya, seimbang dengan pinggulnya yang montok pula. Aku bertanya-tanya apa arti dari semua ini.

"Nah, sekarang coba kamu lihat, Hanny. Susan ini adalah satu-satunya pelamar yang berhasil terpilih. Mengapa? Sebab ia cocok dengan profil foto model yang saya inginkan untuk proyek kalender bugil yang akan saya edarkan di luar negeri. Kalo kamu ingin berhasil seperti Susan, kamu harus berani seperti dia, Han," kata Adolf sambil menunjuk ke arah gadis cantik yang bugil itu. Astaga! Batinku. Aku harus dipotret bugil. Bagaimana pandangan orang-orang terhadapku nanti apabila foto-foto telanjangku sampai dilihat orang-orang banyak?! Tapi kan cuma diedarkan di luar negeri?!

"Baiklah, tapi kali ini aja ya," aku menyanggupinya.

Akhirnya aku dipotret dalam beberapa pose. Pose yang pertama, aku disuruh berbaring tertelentang dengan pose memanjang di atas ranjang, dengan membuka pahaku lebar-lebar, sehingga menampakkan kemaluanku jelas-jelas. Pose kedua, aku duduk mengangkang di tepi ranjang sementara Susan menjilati liang vaginaku. Pose ketiga, aku dalam keadaan berdiri, sedangkan Susan dengan lidahnya yang mahir mempermainkan puting susuku. Pose keempat, aku masih berdiri, sementara Susan berdiri di belakangku dan berbuat seolah-oleh kami berdua sedang bersenggama. Susan berperan sebagai seorang pria yang sedang menghujamkan batang kemaluannya ke dalam liang kewanitaanku, sedangkan tangannya meremas-remas kedua belah payudaraku yang indah. Dan aku diminta memejamkan mataku, seakan-akan aku sedang terbuai oleh kenikmatan yang tiada taranya. Semua itu adalah pose-pose yang membangkitkan nafsu birahi bagi kaum pria namun amat memuakkan bagi diriku.

Tiba-tiba kurasakan kedua belah payudaraku diremas-remas dengan lebih keras, bahkan lebih kasar. Ku meronta-ronta kesakitan. Aku menoleh ke belakang. Astaga! Ternyata yang di belakangku sudah bukan Susan lagi, melainkan Adolf yang sekarang tengah mempermainkan payudaraku dengan seenaknya! Entah Susan sudah ke mana perginya.

"Jangan, Pak! Jangan!" Aku memberontak-berontak sebisa-bisanya. Tapi semua itu tidak ada hasilnya. Tangan Adolf lebih kuat mendekapku kencang-kencang sampai hampir-hampir aku tak bisa bernafas.

"Kamu memang benar-benar cantik, Hanny," kata Adolf sambil menciumi tengkukku sementara tangannya masih terus merambahi kedua bukit yang membusung di dadaku.

Tiba-tiba dengan kasar, Adolf mendorongku, sehingga aku jatuh tertelentang di sofa. Melihat tubuh mulusku yang sudah tergeletak pasrah di depannya, nafas Adolf memburu bagai dikejar setan. Matanya melotot seperti mau meloncat keluar melihat keindahan tubuh di depannya. Kututup payudaraku dengan tanganku, tapi Adolf menepiskannya. Betapa belahan payudaraku sangat lembut dan merangsang ketika mulut Adolf mulai menjamahnya. Payudaraku yang putih bersih itu memang menggiurkan. Mulut Adolf dengan buas menjilati dan melumat bagian puncak payudaraku, lalu mengisapi puting susuku bergantian, sehingga aku menggelinjang kegelian. Nafasku ikut memburu kala tangan Adolf mulai merayap ke selangkanganku, meraba-raba pahaku dari pangkal sampai lutut. Lalu betisku yang mulus itu.

Aku hampir-hampir tak bisa bernafas lagi ketika mulut Adolf terus mengisap dan menyedot puting susuku. Aku meronta-ronta. Tapi Adolf terus mendesak dan melumat puting susuku yang runcing kemerahan itu. Seumur hidupku, belum pernah aku diperlakukan sedemikian lupa oleh lelaki manapun, dan kini aku harus menyerahkan diriku pada Adolf.

Adolf mencoba mendorong batang kemaluannya masuk ke dalam liang vaginaku yang sempit. Ia sudah tak kuat lagi membendung nafsunya yang membulak-bulak ketika batang kemaluannya bergesekkan dengan liang vaginaku yang merah terbuka. Batang kemaluan Adolf akhirnya menghujam seluruhnya ke dalam liang vaginaku. Aku menjerit ketika liang vaginaku diterobos oleh batang kemaluan Adolf yang tegang dan panjang. Betapa perih ketika "kepala meriam" itu terus masuk ke dalam liang vaginaku, yang belum pernah sekalipun merasakan jamahan laki-laki.

Aku mencoba memberontak sekuat tenaga lagi. Tapi apa daya, Adolf lebih kuat. Lagipula aku sudah lemas, tenagaku sudah hampir hampir habis. Terpaksa aku hanya dapat menerima dengan pasrah digagahi oleh Adolf. Dan akhirnya, aku merasa tak kuat lagi. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Aku tak sadarkan diri.

Saat aku siuman, aku menyadari diriku masih tergeletak telanjang bulat di sofa dengan cairan-cairan kenikmatan yang ditembakkan dari batang kemaluan Adolf berhamburan di sekujur perut dan dadaku. Sementara kulihat ruangan itu telah kosong. Segera kukenakan pakaianku kembali dan bergegas ke luar ruangan. Kukebut Jazz-ku pulang ke rumah dan bersumpah tak akan pernah kembali lagi ke tempat terkutuk itu!

Adik, Anak, atau Keponakan?


Aku dibilang anak dari keluarga broken home kayaknya nggak bisa, meskipun ayah dan ibuku bercerai saat aku baru saja diterima di perguruan tinggi. Adanya ketidakcocokan serta pertengkaran-pertengkaran yang kerap kali terjadi terpaksa meluluh-lantakkan pernikahan mereka yang saat itu telah berusia 18 tahun dengan aku sebagai putri tunggal mereka.

Keluargaku saat itu hidup berkecukupan. Ayahku yang berkedudukan sebagai seorang pejabat teras sebuah departemen memang memberikan nafkah yang cukup bagi aku dan ibuku, walaupun ia bekerja secara jujur dan jauh dari korupsi, tidak seperti pejabat-pejabat lain pada umumnya. Dari segi materi, memang aku tidak memiliki masalah, begitu pula dari segi fisikku. Kuakui, wajahku terbilang cantik, mata indah, hidung bangir, serta dada yang membusung walau tidak terlalu besar ukurannya. Semua itu ditambah dengan tubuhku yang tinggi semampai, sedikit lebih tinggi daripada rata-rata gadis seusiaku, memang membuatku lebih menonjol dibandingkan yang lain. Bahkan aku menjadi mahasiswi baru primadona di kampus. Akan tetapi karena pengawasan orangtuaku yang ketat, di samping pendidikan agamaku yang cukup kuat, aku menjadi seperti anak mama. Tidak seperti remaja-remaja pada umumnya, aku tidak pernah pergi keluyuran ke luar rumah tanpa ditemani ayah atau ibu.

Namun setelah perceraian itu terjadi, dan aku ikut ibuku yang menikah lagi dua bulan kemudian dengan duda berputra satu, seorang pengusaha restoran yang cukup sukses, aku mulai berani bepergian keluar rumah tanpa dampingan salah satu dari orangtuaku. Itupun masih jarang sekali. Bahkan ke diskotik pun aku hanya pernah satu kali. Itu juga setelah dibujuk rayu oleh seorang cowok teman kuliahku. Setelah itu aku kapok.

Mungkin karena baru pertama kali ini aku pergi ke diskotik, baru saja duduk sepuluh menit, aku sudah merasakan pusing, tidak tahan dengan suara musik disko yang bising berdentam-dentam, ditambah dengan bau asap rokok yang memenuhi ruangan diskotik tersebut.

"Don, kepala gue pusing. Kita pulang aja yuk."

"Alaa, Mer. Kita kan baru sampai di sini. Masa belum apa-apa udah mau pulang. Rugi kan. Lagian kan masih sore."

"Tapi gue udah nggak tahan lagi."

"Gini deh, Mer. Gue kasih elu obat penghilang pusing." Temanku itu memberikanku tablet yang berwarna putih. Aku pun langsung menelan obat sakit kepala yang diberikannya.

"Gimana sekarang rasanya? Enakkan?" Aku mengangguk. Memang rasanya kepalaku sudah mulai tidak sakit lagi. Tapi sekonyong-konyong mataku berkunang-kunang. Semacam aliran aneh menjalari sekujur tubuhku. Antara sadar dan tidak sadar, kulihat temanku itu tersenyum. Kurasakan ia memapahku keluar diskotik. Ini cewek lagi mabuk, katanya kepada petugas keamanan diskotik yang menanyainya. Lalu ia menjalankan mobilnya ke sebuah motel yang tidak begitu jauh dari tempat itu.

Setiba di motel, temanku memapahku yang terhuyung-huyung masuk ke dalam sebuah kamar. Ia membaringkan tubuhku yang tampak menggeliat-geliat di atas ranjang. Kemudian ia menindih tubuhku yang tergeletak tak berdaya di kasur. Temanku dengan gemas menciumi bibirku yang merekah mengundang. Kedua belah buah dadaku yang ranum dan kenyal merapat pada dadanya. Darah kelaki-lakiannya dengan cepat semakin tergugah untuk menggagahiku.

"Ouuhhh... Don!" desahku.

Temanku meraih tubuhku yang ramping. Ia segera mendekapku dan mengulum bibirku yang ranum. Lalu diciuminya bagian telinga dan leherku. Aku mulai menggerinjal-gerinjal. Sementara itu tangannya mulai membuka satu persatu kancing blus yang kupakai. Kemudian dengan sekali sentakan kasar, ia menarik lepas tali bh-ku, sehingga tubuh bagian atasku terbuka lebar, siap untuk dijelajahi. Tangannya mulai meraba-raba buah dadaku yang berukuran cukup besar itu. Terasa suatu kenikmatan tersendiri pada syarafku ketika buah dadaku dipermainkan olehnya.

"Don... Ouuhhh... Ouuhhh....." rintihku saat tangan temanku sedang asyik menjamah buah dadaku.

Tak lama kemudian tangannya setelah puas berpetualang di buah dadaku sebelah kiri, kini berpindah ke buah dadaku yang satu lagi, sedangkan lidahnya masih menggumuli lidahku dalam ciuman-ciumannya yang penuh desakan nafsu yang semakin menjadi-jadi. Lalu ia menanggalkan celana panjangku. Tampaklah pahaku yang putih dan mulus itu. Matanya terbelalak melihatnya. Temanku itu mulai menyelusupkan tangannya ke balik celana dalamku yang berwarna kuning muda. Dia mulai meremas-remas kedua belah gumpalan pantatku yang memang montok itu.

"Ouh... Ouuh... Jangan, Don! Jangan! Ouuhhh....." jeritku ketika jari-jemari temanku mulai menyentuh bibir kewanitaanku. Namun jeritanku itu tak diindahkannya, sebaliknya ia menjadi semakin bergairah. Ibu jarinya mengurut-urut clitorisku dari atas ke bawah berulang-ulang. Aku semakin menggerinjal-gerinjal dan berulang kali menjerit. Kepala temanku turun ke arah dadaku. Ia menciumi belahan buah dadaku yang laksana lembah di antara dua buah gunung yang menjulang tinggi. Aku yang seperti tersihir, semakin menggerinjal-gerinjal dan merintih tatkala ia menciumi ujung buah dadaku yang kemerahan. Tiba-tiba aku seperti terkejut ketika lidahnya mulai menjilati ujung puting susuku yang tidak terlalu tinggi tapi mulai mengeras dan tampak menggiurkan. Seperti mendapat kekuatanku kembali, segera kutampar mukanya. Temanku itu yang kaget terlempar ke lantai. Aku segera mengenakan pakaianku kembali dan berlari ke luar kamar. Ia hanya terpana memandangiku. Sejak saat itu aku bersumpah tidak akan pernah mau ke tempat-tempat seperti itu lagi.

Sudah dua tahun berlalu aku dan ibuku hidup bersama dengan ayah dan adik tiriku, Rio, yang umurnya tiga tahun lebih muda daripada aku. Kehidupan kami berjalan normal seperti layaknya keluarga bahagia. Aku pun yang saat itu sudah di semester enam kuliahku, diterima bekerja sebagai teller di sebuah bank swasta nasional papan atas. Meskipun aku belum selesai kuliah, namun berkat penampilanku yang menarik dan keramah-tamahanku, aku bisa diterima di situ, sehingga aku pun berhak mengenakan pakaian seragam baju atas berwarna putih agak krem, dengan blazer merah yang sewarna dengan rokku yang ujungnya sedikit di atas lutut. Sampai suatu saat, tiba-tiba ibuku terkena serangan jantung. Setelah diopname selama dua hari, ibuku wafat meninggalkan aku. Rasanya seperti langit runtuh menimpaku saat itu. Sejak itu, aku hanya tinggal bertiga dengan ayah tiriku dan Rio.

Sepeninggal ibuku, sikap Rio dan ayahnya mulai berubah. Mereka berdua beberapa kali mulai bersikap kurang ajar terhadapku, terutama Rio. Bahkan suatu hari saat aku ketiduran di sofa karena kecapaian bekerja di kantor, tanpa kusadari ia memasukkan tangannya ke dalam rok yang kupakai dan meraba paha dan selangkanganku. Ketika aku terjaga dan mengomelinya, Rio malah mengancamku. Kemudian ia bahkan melepaskan celana dalamku. Tetapi untung saja, setelah itu ia tidak berbuat lebih jauh. Ia hanya memandangi kewanitaanku yang belum banyak ditumbuhi bulu sambil menelan air liurnya. Lalu ia pergi begitu saja meninggalkanku yang langsung saja merapikan pakaianku kembali. Selain itu, Rio sering kutangkap basah mengintip tubuhku yang bugil sedang mandi melalui lubang angin kamar mandi. Aku masih berlapang dada menerima segala perlakuan itu. Sampai.....

Aku baru saja pulang kerja dari kantor. Ah, rasanya hari ini lelah sekali. Tadi di kantor seharian aku sibuk melayani nasabah-nasabah bank tempatku bekerja yang menarik uang secara besar-besaran. Entah karena apa, hari ini bank tempatku bekerja terkena rush. Ingin rasanya aku langsung mandi. Tetapi kulihat pintu kamar mandi tertutup dan sedang ada orang yang mandi di dalamnya. Kubatalkan niatku untuk mandi. Kupikir sambil menunggu kamar mandi kosong, lebih baik aku berbaring dulu melepaskan penat di kamar. Akhirnya setelah mencopot sepatu dan menanggalkan blazer yang kukenakan, aku pun langsung membaringkan tubuhku tengkurap di atas kasur di kamar tidurnya. Ah, terasa nikmatnya tidur di kasur yang demikian empuknya. Tak terasa, karena rasa kantuk yang tak tertahankan lagi, aku pun tertidur tanpa sempat berubah posisi.

Aku tak menyadari ada seseorang membuka pintu kamarku dengan perlahan-lahan, hampir tak menimbulkan suara. Orang itu lalu dengan mengendap-endap menghampiriku yang masih terlelap. Kemudian ia naik ke atas tempat tidur. Tiba-tiba ia menindih tubuhku yang masih tengkurap, sementara tangannya meremas-remas belahan pantatku. Aku seketika itu juga bangun dan meronta-ronta sekuat tenaga. Namun orang itu lebih kuat, ia memelorotkan rok yang kukenakan. Kemudian dengan secepat kilat, ia menyelipkan tangannya ke dalam celana dalamku. Dengan ganasnya, ia meremas-remas gumpalan pantatku yang montok. Aku semakin memberontak sewaktu tangan orang itu mulai mempermainkan bibir kewanitaanku dengan ahlinya. Sekali-sekali aku mendelik-deliki saat jari telunjuknya dengan sengaja berulang kali menyentil-nyentil clitorisku.

"Aahh! Jangaann! Aaahh....!" aku berteriak-teriak keras ketika orang itu menyodokkan jari telunjuk dan jari tengahnya sekaligus ke dalam kewanitaanku yang masih sempit itu, setelah celana dalamku ditanggalkannya. Akan tetapi ia mengacuhku. Tanpa mempedulikan aku yang terus meronta-ronta sambil menjerit-jerit kesakitan, jari-jarinya terus-menerus merambahi lubang kenikmatanku itu, semakin lama semakin tinggi intensitasnya. Aku bersyukur dalam hati waktu orang itu menghentikan perbuatan gilanya. Akan tetapi tampaknya itu tidak bertahan lama. Dengan hentakan kasar, orang itu membalikkan tubuhku sehingga tertelentang menghadapnya. Aku terperanjat sekali mengetahui siapa orang itu sebenarnya.

"Rio.... Kamu....." Rio hanya menyeringai buas.

"Eh, Mer. Sekarang elu boleh berteriak-teriak sepuasnya. Nggak ada lagi orang yang bakalan menolong elu. Apalagi si nenek tua itu sudah mampus!"
Astaga Rio menyebut ibuku, ibu tirinya sendiri, sebagai nenek tua. Keparat.

"Rio! Jangan, Rio! Jangan lakukan ini! Gue kan kakak elu sendiri! Jangan!"

"Kakak? Denger, Mer. Gue nggak pernah nganggap elu kakak gue. Siapa suruh elu jadi kakak gue. Yang gue tau cuman papa gue kawin sama nenek tua, mama elu!"

"Rio!"

"Elu kan cewek, Mer. Papa udah ngebiayain elu hidup dan kuliah. Kan nggak ada salahnya gue sebagai anaknya ngewakilin dia untuk meminta imbalan dari elu. Bales budi dong!"

"Iya, Rio. Tapi bukan begini caranya!"

"Heh, yang gue butuhin cuman tubuh molek elu. Nggak mau yang lain. Gue nggak mau tau, elu mau kasih apa nggak!"

"Errgh..." Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Mulut Rio secepat kilat memagut mulutku. Dengan memaksa ia melumat bibirku yang merekah itu, membuatku hampir tidak bisa bernafas. Aku mencoba meronta-ronta melepaskan diri. Tapi cekalan tangan Rio jauh lebih kuat, membuatku tak berdaya.

"Akh!" Rio kesakitan sewaktu kugigit lidahnya dengan cukup keras. Tapi, "Plak!" Ia menampar pipiku dengan keras, membuat mataku berkunang-kunang. Kugeleng-gelengkan kepalaku yang terasa seperti berputar-putar.

Tanpa mau membuang-buang waktu lagi, Rio mengeluarkan beberapa utas tali sepatu dari dalam saku celananya. Kemudian ia membentangkan kedua tanganku, dan mengikatnya masing-masing di ujung kiri dan kanan tempat tidur. Demikian juga kedua kakiku, tak luput diikatnya, sehingga tubuhku menjadi terpentang tak berdaya diikat di keempat arah. Oleh karena kencangnya ikatannya itu, tubuhku tertarik cukup kencang, membuat dadaku tambah tegak membusung. Melihat pemandangan nan indah ini membuat mata Rio tambah menyalang-nyalang bernafsu.

"Jangan...." Tangan Rio mencengkeram kerah blus yang kukenakan. Satu persatu dibukanya kancing penutup blusku. Setelah kancing-kancing blusku terbuka semua, ditariknya blusku itu ke atas. Kemudian dengan sekali sentakan, ditariknya lepas tali pengikat bh-ku, sehingga buah dadaku yang membusung itu terhampar bebas di depannya.

"Wow! Elu punya toket bagus gini kok nggak bilang-bilang, Mer! Auum!" Rio langsung melahap buah dadaku yang ranum itu. Gelitikan-gelitikan lidahnya pada ujung puting susuku membuatku menggerinjal-gerinjal kegelian. Tapi aku tidak mampu berbuat apa-apa. Semakin keras aku meronta-ronta tampaknya ikatan tanganku semakin kencang. Sakit sekali rasanya tanganku ini. Jadi aku hanya membiarkan buah dada dan putting susuku dilumat Rio sebebas yang ia suka. Aku hanya bisa menengadahkan kepalaku menghadap langit-langit, memikirkan nasibku yang sial ini.

"Aaarrghh.... Rio! Jangaannn.....!" Lamunanku buyar ketika terasa sakit di selangkanganku. Ternyata Rio mulai menghujamkan kemaluannya ke dalam kewanitaanku. Tambah lama bertambah cepat, membuat tubuhku tersentak-sentak ke atas. Melihat aku yang sudah tergeletak pasrah, memberikan rangsangan yang lebih hebat lagi pada Rio. Dengan sekuat tenaga ia menambah dorongan kemaluannya masuk-keluar dalam kewanitaanku. Membuatku meronta-ronta tak karuan.

"Urrgh....." Akhirnya Rio sudah tidak dapat menahan lagi gejolak nafsu di dalam tubuhnya. Kemaluannya menyemprotkan cairan-cairan putih kental di dalam kewanitaanku. Sebagian berceceran di atas sprei sewaktu ia mengeluarkan kemaluannya, bercampur dengan darah yang mengalir dari dalam kewanitaanku, menandakan selaput daraku sudah robek olehnya. Karena kelelahan, tubuh Rio langsung tergolek di samping tubuhku yang bermandikan keringat dengan nafas terengah-engah.

"Braak!" Aku dan Rio terkejut mendengar pintu kamar terbuka ditendang cukup keras. Lega hatiku melihat siapa yang melakukannya.

"Papa!" "Rio! Apa-apa sih kamu ini?! Cepat kamu bebaskan Meriska!" Ah, akhirnya neraka jahanam ini berakhir juga, pikirku. Rio mematuhi perintah ayahnya. Segera dibukanya seluruh ikatan di tangan dan kakiku. Aku bangkit dan segera berlari menghambur ke arah ayah tiriku.

"Sudahlah, Mer. Maafin Rio ya. Itu kan sudah terjadi," kata ayah tiriku menenangkan aku yang terus menangis dalam dekapannya.

"Tapi, Pa. Gimana nasib Meriska? Gimana, Pa? Aaahh.... Papaaa!" tangisanku berubah menjadi jeritan seketika itu juga tatkala ayah tiriku mengangkat tubuhku sedikit ke atas kemudian ia menghujamkan kemaluannya yang sudah dikeluarkannya dari dalam celananya ke dalam kewanitaanku.

"Aaahh... Papaaa..... Jangaaan!" Aku meronta-ronta keras. Namun dekapan ayah tiriku yang begitu kencang membuat rontaanku itu tidak berarti apa-apa bagi dirinya. Ayah tiriku semakin ganas menyodok-nyodokkan kemaluannya ke dalam kewanitaanku. Ah! Ayah dan anak sama saja, pikirku, begitu teganya mereka menyetubuhi anak dan kakak tiri mereka sendiri.

Aku menjerit panjang kesakitan sewaktu Rio yang sudah bangkit dari tempat tidur memasukkan kemaluannya ke dalam lubang anusku. Aku merasakan rasa sakit yang hampir tak tertahankan lagi. Ayah dan kakak tiriku itu sama-sama menghujam tubuhku yang tak berdaya dari kedua arah, depan dan belakang. Akibat kelelahan bercampur dengan kesakitan yang tak terhingga akhirnya aku tidak merasakan apa-apa lagi, tak sadarkan diri. Aku sudah tidak ingat lagi apakah Rio dan ayahnya masih mengagahiku atau tidak setelah itu.

Beberapa bulan telah berlalu. Aku merasa mual dan berkali-kali muntah di kamar mandi. Akhirnya aku memeriksakan diriku ke dokter. Ternyata aku dinyatakan positif hamil. Hasil diagnosa dokter ini bagaikan gada raksasa yang menghantam mukaku. Aku mengandung?! Kebingungan-kebingungan terus-menerus menyelimuti benakku. Aku tidak tahu secara pasti, siapa ayah dari anak yang sekarang ada di kandunganku ini. Ayah tiriku atau Rio. Hanya mereka berdua yang pernah menyetubuhiku. Aku bingung, apa status anak dalam kandunganku ini. Yang pasti ia adalah anakku. Lalu apakah ia juga sekaligus adikku alias anak ayah tiriku? Ataukah ia juga sekaligus keponakanku sebab ia adalah anak adik tiriku sendiri?

Jalan Raya Membawa Petaka


Sebenarnya aku dan suaminya sudah hampir memutuskan membatalkan kepergianku ke rumah kakakku. Apalagi mengingat situasi di kota yang masih belum aman. Ditambah lagi dengan terdengarnya isyu maraknya kerusuhan tadi malam. Akan tetapi setelah menimbang-nimbang masak-masak, aku tak tega mem-batalkan niatku tersebut. Sebab aku ingin pergi ke sana dengan tujuan untuk menjenguk anak sulung kakakku itu yang terserang demam berdarah dan dirawat di rumah, sebab ia sudah berkeliling-keliling mencari-cari kamar yang kosong di beberapa rumah sakit terdekat, hasilnya nihil. Akhirnya aku dan suamiku memutuskan untuk jadi berangkat. Tentu saja dengan kewaspadaan penuh.

Kira-kira jam delapan kurang, kami berdua pergi ke rumah kakakku dengan naik motor yang baru sebulan dibeli oleh suamiku dengan cara mengkredit. Aku membonceng di belakangnya. Kami berangkat dari rumah kami.

Hampir seluruh jalan yang kami lewati memang terlihat sepi. Barangkali orang-orang masih merasa trauma atas kerusuhan kemarin siang. Suasana sepi ini cukup mencekam kami berdua. Soalnya langka sekali kami bisa mengendarai kendaraan bermotor dengan leluasa di jalan-jalan kota Jakarta ini, bahkan dengan sepeda motor sekalipun. Namun secara garis besar, kulihat masih tetap aman dilalui.

Meskipun suasana sepi, tetapi gara-gara banyak jalan yang diblokir membuat kami berputar-putar mencari jalan yang bisa dilalui. Cukup lama juga kami dalam perjalanan dari rumah. Lebih kurang satu jam.

Setibanya kami di daerah tempat tinggal kakakku, tiba-tiba rasa cemas dan takut menghantui diri kami. Bagaimana tidak. Di jalan raya di sana, massa sudah mulai berkumpul. Bahkan toko-toko yang ada di kiri dan kanan jalan sudah ada yang dijarah dan juga dibakar oleh sebagian dari mereka, meskipun baru sedikit jumlahnya.

Melihat suasana yang amat tidak menguntungkan itu, akhirnya aku mengajak suamiku untuk membatalkan perjalanan dan pulang lagi rumah. Suamiku menyetujuinya. Lalu ia membelokkan motor memutar haluan ke arah semula.

Sekonyong-konyong darimana asalnya, terdengar suara teriakan, "He!". Langsung saja aku dan suamiku didera rasa takut. Tak beberapa kemudian, seperti dikomando, massa berhamburan dari segala arah.

Suamiku mencoba memacu motornya. Namun ia tidak berhasil karena begitu banyaknya massa yang telah mengepung kami. Akhirnya beberapa orang dari mereka mencoba merebut motor kami. Suamiku yang mencoba melawan, akhirnya tidak berdaya. Ia ditarik sampai jatuh dari atas motor dan langsung dipukuli.

Aku sendiri ditarik keluar dari kerumunan masa tersebut, sehingga aku tidak mengetahui lagi nasib suamiku selanjutnya. Kulihat lebih kurang delapan orang yang menyeretku ke pinggir jalan. Kemudian seorang di antaranya mendorong tubuhku dengan keras. Aku terjengkang dan jatuh terduduk di atas aspal. Pantatku terasa sakit berbenturan dengan aspal yang keras itu.

"Heh! Cewek! Tau nggak! Kamu tuh harus diperkosa karena kamu berani lewat sini!" kata seorang di antara mereka yang bertubuh tidak terlalu tinggi tapi sedikit gempal.

"Jangan, Pak! Jangan perkosa saya! Ampun, Pak!" Aku menangis meminta ampun.

"Jangan? Siapa suruh kamu jadi lewat sini, Hah!"

"Sa... saya... sudah punya anak, Pak! Jangan apa-apakan saya!"

"Gile, cakep-cakep begini udah punya anak. Gimana, Ton?"

"Alaa, sebodo amat! Tancap aja, Mat!"

Akhirnya orang yang dipanggil "Mat" itu menghampiriku. Aku mencoba mundur ke belakang. Tapi celaka. Gerakanku terhenti oleh trotoar yang lumayan tinggi di tepi jalan. Sementara itu, si "Ton" menyusulnya.

"Ton, elu pegang dulu kaki ini cewek gih!"

Si "Mat" mendorongku sehingga tubuhku tertelentang di aspal. Lalu si "Ton" mengajak satu orang temannya lagi untuk membantunya memegangi kakiku. Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi hanya mampu memandangi mereka dengan pasrah. Kemudian si "Ton" dan temannya membuka kedua kakiku lebar-lebar, sehingga menampakkan celana dalam putihku di balik rok sedikit di atas lutut yang kukenakan. Kulihat si "Ton" menelan ludah melihat pahaku yang putih dan mulus.

Sementara itu, si "Mat" memegang ujung kain rokku. Lalu ia menyibakkan rokku itu ke atas, sehingga selangkanganku yang masih tertutup celana dalam bebas terlihat oleh mereka. Merasa belum puas, dibantu oleh beberapa temannya lagi, ia mengoyak-ngoyak rokku itu. Kemudian tanpa bisa kucegah lagi, si "Mat" melucuti celana dalamku, sehingga membuat ku setengah telanjang, di mana hanya bagian atas tubuhku yang masih tertutup pakaian, sementara bagian bawahku sudah terbuka lebar tanpa tertutup selembar benangpun, termasuk alat vitalku.

Tanpa mempedulikan rontaan tubuhku, si "Mat" bangkit berdiri. Tak lama kemudian, ia mengeluarkan penisnya dari balik celana training yang dipakainya. Aku semakin memperkeras rontaanku. Tapi cekalan tangan si "Ton" dan temannya di kakiku jauh lebih kuat.

Akhirnya kewanitaanku tanpa dapat kuhalangi berhasil diterobos oleh penis si "Mat" ini. Bayangkan coba! Aku digagahi olehnya di pinggir jalan di atas aspal. Sementara ia memompa penisnya masuk-keluar di dalam kewanitaanku, tangannya menggapai payudaraku. Dengan liarnya, ia meremas-remas kedua belah payudaraku, setelah terlebih dahulu menanggalkan blus yang menutupi bagian atas tubuhku.

Setelah itu, si "Mat" menyelipkan tangannya ke dalam mangkuk BH-ku. Di balik BH yang kupakai itu, ia semakin ganas meremas-remas payudaraku yang termasuk berukuran kecil itu. Tiba-tiba ia menyentakkan BH-ku dengan keras, sehingga tali BH-ku putus. Dan dilemparnya BH-ku itu begitu saja ke atas trotoar.

Dengan segera payudaraku menjadi "santapan lezat" tangannya. Aku hanya mampu menjerit kecil menahan sakit saat jari-jemari "Mat" memelintir-melintir puting susuku. Sementara itu di bawah, ia masih terus memompa penisnya di dalam kewanitaanku.

Begitulah selanjutnya. Orang-orang itu dengan ganasnya bergantian menggagahiku tanpa memberikan kesempatan kepadaku untuk beristirahat barang semenitpun. Rasa sakit dan rasa lelah yang luar biasa bercampur baur menyelimuti sekujur tubuhku. Aku sudah tidak bisa tahan lagi.

Akhirnya pada saat orang yang kelima baru menghujamkan penisnya ke dalam kewanitaanku, dengan sekuat tenaga yang tersisa, aku mendorong orang itu dengan cukup kuat. Orang yang memang tubuhnya paling kecil terpental ke belakang. Teman-temannya sempat bengong melihat perlawananku itu. Mereka tidak menyangka bahwa aku, wanita mungil di depannya yang dengan pasrah diperkosa oleh mereka, bisa melakukan hal itu.

Aku langsung berlari sekuat tenaga masuk ke sebuah jalan kecil yang tak jauh dari situ dalam keadaan telanjang bulat. Aku tidak mempedulikan pandangan para penghuni rumah di jalan kecil tersebut. Aku berteriak-teriak minta tolong. Namun tak ada seorang pun dari mereka yang mau mengulurkan tangan untuk menolongku.

Bahkan sampai kedelapan pengejarku ikut masuk jalan kecil itu, para penghuni tersebut buru-buru menutup rapat-rapat dan mengunci seluruh pintu rumah mereka. Aku berlari terus. Cukup cepat memang, tetapi tidak cukup cepat untuk meloloskan diri dari para pengejarku yang sudah semakin mendekat di belakangku.

Akhirnya, tepat di depan sebuah rumah dengan pagar bercat biru muda, si "Mat" dan ketujuh temannya berhasil menyusulku. Kembali mereka mengepungku.

"Mau lari ke mana kamu! Belum pernah mampus?" kata si "Ton".

Lalu si "Ton" mendorong tubuhku ke belakang hingga masuk ke dalam selokan yang cukup lebar dan dalam. Ia menyusulku melompat ke dalam. Di dalam selokan, kembali ia menyetubuhiku untuk kedua kalinya. Disusul oleh teman-temannya yang lain secara bergiliran. Dan, akhirnya aku berhasil digagahi oleh kedelapan orang itu.

Setelah mereka puas menggagahiku, mereka pergi meninggalkanku begitu saja di dalam selokan, terkulai dalam keadaan setengah sadar. Kira-kira setengah jam lebih aku dibiarkan saja di situ. Sesudah itu baru ada seorang bapak setengah baya, salah satu penghuni di situ, yang mengambil inisiatif untuk menolongku.

* * *

Sejak itu sampai saat ini, aku masih merasa ketakutan akibat peristiwa itu dan tak berani ke luar rumah, sekalipun ternyata setelah peristiwa tersebut, aku mengetahui bahwa suamiku selamat, hanya babak belur cukup parah dihajar massa, sementara sepeda motornya entah ke mana, barangkali bergabung dengan onggokan bangkai sepeda motor lainnya yang hangus dibakar massa. Bahkan tak jarang, aku terbangun di tengah malam dan termenung memikirkan nasibku yang begitu malang. Aku tak habis pikir. Mengapa dengan seenaknya saja mereka menganiaya dan memperkosa kami, seakan-akan kami berdua ini adalah binatang?