Senin, 17 November 2008

Jalan Raya Membawa Petaka


Sebenarnya aku dan suaminya sudah hampir memutuskan membatalkan kepergianku ke rumah kakakku. Apalagi mengingat situasi di kota yang masih belum aman. Ditambah lagi dengan terdengarnya isyu maraknya kerusuhan tadi malam. Akan tetapi setelah menimbang-nimbang masak-masak, aku tak tega mem-batalkan niatku tersebut. Sebab aku ingin pergi ke sana dengan tujuan untuk menjenguk anak sulung kakakku itu yang terserang demam berdarah dan dirawat di rumah, sebab ia sudah berkeliling-keliling mencari-cari kamar yang kosong di beberapa rumah sakit terdekat, hasilnya nihil. Akhirnya aku dan suamiku memutuskan untuk jadi berangkat. Tentu saja dengan kewaspadaan penuh.

Kira-kira jam delapan kurang, kami berdua pergi ke rumah kakakku dengan naik motor yang baru sebulan dibeli oleh suamiku dengan cara mengkredit. Aku membonceng di belakangnya. Kami berangkat dari rumah kami.

Hampir seluruh jalan yang kami lewati memang terlihat sepi. Barangkali orang-orang masih merasa trauma atas kerusuhan kemarin siang. Suasana sepi ini cukup mencekam kami berdua. Soalnya langka sekali kami bisa mengendarai kendaraan bermotor dengan leluasa di jalan-jalan kota Jakarta ini, bahkan dengan sepeda motor sekalipun. Namun secara garis besar, kulihat masih tetap aman dilalui.

Meskipun suasana sepi, tetapi gara-gara banyak jalan yang diblokir membuat kami berputar-putar mencari jalan yang bisa dilalui. Cukup lama juga kami dalam perjalanan dari rumah. Lebih kurang satu jam.

Setibanya kami di daerah tempat tinggal kakakku, tiba-tiba rasa cemas dan takut menghantui diri kami. Bagaimana tidak. Di jalan raya di sana, massa sudah mulai berkumpul. Bahkan toko-toko yang ada di kiri dan kanan jalan sudah ada yang dijarah dan juga dibakar oleh sebagian dari mereka, meskipun baru sedikit jumlahnya.

Melihat suasana yang amat tidak menguntungkan itu, akhirnya aku mengajak suamiku untuk membatalkan perjalanan dan pulang lagi rumah. Suamiku menyetujuinya. Lalu ia membelokkan motor memutar haluan ke arah semula.

Sekonyong-konyong darimana asalnya, terdengar suara teriakan, "He!". Langsung saja aku dan suamiku didera rasa takut. Tak beberapa kemudian, seperti dikomando, massa berhamburan dari segala arah.

Suamiku mencoba memacu motornya. Namun ia tidak berhasil karena begitu banyaknya massa yang telah mengepung kami. Akhirnya beberapa orang dari mereka mencoba merebut motor kami. Suamiku yang mencoba melawan, akhirnya tidak berdaya. Ia ditarik sampai jatuh dari atas motor dan langsung dipukuli.

Aku sendiri ditarik keluar dari kerumunan masa tersebut, sehingga aku tidak mengetahui lagi nasib suamiku selanjutnya. Kulihat lebih kurang delapan orang yang menyeretku ke pinggir jalan. Kemudian seorang di antaranya mendorong tubuhku dengan keras. Aku terjengkang dan jatuh terduduk di atas aspal. Pantatku terasa sakit berbenturan dengan aspal yang keras itu.

"Heh! Cewek! Tau nggak! Kamu tuh harus diperkosa karena kamu berani lewat sini!" kata seorang di antara mereka yang bertubuh tidak terlalu tinggi tapi sedikit gempal.

"Jangan, Pak! Jangan perkosa saya! Ampun, Pak!" Aku menangis meminta ampun.

"Jangan? Siapa suruh kamu jadi lewat sini, Hah!"

"Sa... saya... sudah punya anak, Pak! Jangan apa-apakan saya!"

"Gile, cakep-cakep begini udah punya anak. Gimana, Ton?"

"Alaa, sebodo amat! Tancap aja, Mat!"

Akhirnya orang yang dipanggil "Mat" itu menghampiriku. Aku mencoba mundur ke belakang. Tapi celaka. Gerakanku terhenti oleh trotoar yang lumayan tinggi di tepi jalan. Sementara itu, si "Ton" menyusulnya.

"Ton, elu pegang dulu kaki ini cewek gih!"

Si "Mat" mendorongku sehingga tubuhku tertelentang di aspal. Lalu si "Ton" mengajak satu orang temannya lagi untuk membantunya memegangi kakiku. Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi hanya mampu memandangi mereka dengan pasrah. Kemudian si "Ton" dan temannya membuka kedua kakiku lebar-lebar, sehingga menampakkan celana dalam putihku di balik rok sedikit di atas lutut yang kukenakan. Kulihat si "Ton" menelan ludah melihat pahaku yang putih dan mulus.

Sementara itu, si "Mat" memegang ujung kain rokku. Lalu ia menyibakkan rokku itu ke atas, sehingga selangkanganku yang masih tertutup celana dalam bebas terlihat oleh mereka. Merasa belum puas, dibantu oleh beberapa temannya lagi, ia mengoyak-ngoyak rokku itu. Kemudian tanpa bisa kucegah lagi, si "Mat" melucuti celana dalamku, sehingga membuat ku setengah telanjang, di mana hanya bagian atas tubuhku yang masih tertutup pakaian, sementara bagian bawahku sudah terbuka lebar tanpa tertutup selembar benangpun, termasuk alat vitalku.

Tanpa mempedulikan rontaan tubuhku, si "Mat" bangkit berdiri. Tak lama kemudian, ia mengeluarkan penisnya dari balik celana training yang dipakainya. Aku semakin memperkeras rontaanku. Tapi cekalan tangan si "Ton" dan temannya di kakiku jauh lebih kuat.

Akhirnya kewanitaanku tanpa dapat kuhalangi berhasil diterobos oleh penis si "Mat" ini. Bayangkan coba! Aku digagahi olehnya di pinggir jalan di atas aspal. Sementara ia memompa penisnya masuk-keluar di dalam kewanitaanku, tangannya menggapai payudaraku. Dengan liarnya, ia meremas-remas kedua belah payudaraku, setelah terlebih dahulu menanggalkan blus yang menutupi bagian atas tubuhku.

Setelah itu, si "Mat" menyelipkan tangannya ke dalam mangkuk BH-ku. Di balik BH yang kupakai itu, ia semakin ganas meremas-remas payudaraku yang termasuk berukuran kecil itu. Tiba-tiba ia menyentakkan BH-ku dengan keras, sehingga tali BH-ku putus. Dan dilemparnya BH-ku itu begitu saja ke atas trotoar.

Dengan segera payudaraku menjadi "santapan lezat" tangannya. Aku hanya mampu menjerit kecil menahan sakit saat jari-jemari "Mat" memelintir-melintir puting susuku. Sementara itu di bawah, ia masih terus memompa penisnya di dalam kewanitaanku.

Begitulah selanjutnya. Orang-orang itu dengan ganasnya bergantian menggagahiku tanpa memberikan kesempatan kepadaku untuk beristirahat barang semenitpun. Rasa sakit dan rasa lelah yang luar biasa bercampur baur menyelimuti sekujur tubuhku. Aku sudah tidak bisa tahan lagi.

Akhirnya pada saat orang yang kelima baru menghujamkan penisnya ke dalam kewanitaanku, dengan sekuat tenaga yang tersisa, aku mendorong orang itu dengan cukup kuat. Orang yang memang tubuhnya paling kecil terpental ke belakang. Teman-temannya sempat bengong melihat perlawananku itu. Mereka tidak menyangka bahwa aku, wanita mungil di depannya yang dengan pasrah diperkosa oleh mereka, bisa melakukan hal itu.

Aku langsung berlari sekuat tenaga masuk ke sebuah jalan kecil yang tak jauh dari situ dalam keadaan telanjang bulat. Aku tidak mempedulikan pandangan para penghuni rumah di jalan kecil tersebut. Aku berteriak-teriak minta tolong. Namun tak ada seorang pun dari mereka yang mau mengulurkan tangan untuk menolongku.

Bahkan sampai kedelapan pengejarku ikut masuk jalan kecil itu, para penghuni tersebut buru-buru menutup rapat-rapat dan mengunci seluruh pintu rumah mereka. Aku berlari terus. Cukup cepat memang, tetapi tidak cukup cepat untuk meloloskan diri dari para pengejarku yang sudah semakin mendekat di belakangku.

Akhirnya, tepat di depan sebuah rumah dengan pagar bercat biru muda, si "Mat" dan ketujuh temannya berhasil menyusulku. Kembali mereka mengepungku.

"Mau lari ke mana kamu! Belum pernah mampus?" kata si "Ton".

Lalu si "Ton" mendorong tubuhku ke belakang hingga masuk ke dalam selokan yang cukup lebar dan dalam. Ia menyusulku melompat ke dalam. Di dalam selokan, kembali ia menyetubuhiku untuk kedua kalinya. Disusul oleh teman-temannya yang lain secara bergiliran. Dan, akhirnya aku berhasil digagahi oleh kedelapan orang itu.

Setelah mereka puas menggagahiku, mereka pergi meninggalkanku begitu saja di dalam selokan, terkulai dalam keadaan setengah sadar. Kira-kira setengah jam lebih aku dibiarkan saja di situ. Sesudah itu baru ada seorang bapak setengah baya, salah satu penghuni di situ, yang mengambil inisiatif untuk menolongku.

* * *

Sejak itu sampai saat ini, aku masih merasa ketakutan akibat peristiwa itu dan tak berani ke luar rumah, sekalipun ternyata setelah peristiwa tersebut, aku mengetahui bahwa suamiku selamat, hanya babak belur cukup parah dihajar massa, sementara sepeda motornya entah ke mana, barangkali bergabung dengan onggokan bangkai sepeda motor lainnya yang hangus dibakar massa. Bahkan tak jarang, aku terbangun di tengah malam dan termenung memikirkan nasibku yang begitu malang. Aku tak habis pikir. Mengapa dengan seenaknya saja mereka menganiaya dan memperkosa kami, seakan-akan kami berdua ini adalah binatang?

Tidak ada komentar: