Senin, 17 November 2008

Ling Ling


Aku mengenal Ling Ling sewaktu kami sama-sama masih SMA. Kami sejak kelas satu selalu satu kelas di sebuah SMA swasta unggulan di Jakarta. Walau begitu antara aku dengan dia tidak berteman dekat. Bahkan boleh dibilang kami berdua saling mengacuhkan satu sama lain. Tetapi karena kami kebetulan sama-sama tergabung dalam kelompok pecinta alam di sekolah, aku jadi mengenalnya lebih dekat.

Ling Ling termasuk anak yang rajin. Setiap habis ada pertemuan di markas kelompok pecinta alam tersebut, ia selalu menyingsingkan lengan bajunya untuk ikut membereskan segala sesuatunya, bahkan termasuk mengangkat barang-barang yang cukup berat. Itu tidak menjadi problem yang berarti baginya. Ling Ling memang amat kelaki-lakian. Jika dilihat sekilas, hampir tidak ada tanda-tanda pada dirinya yang menunjukkan bahwa dia itu sebenarnya perempuan. Buah dadanya termasuk hampir rata, hanya menampakkan lengkungan kecil saja di dadanya jika ia sedang memakai kaus oblong. Pinggang dan pantatnya pun tidak kalah ratanya dengan buah dadanya. Pokoknya Ling Ling lebih pantas menjadi laki-laki daripada seorang perempuan. Bahkan pertama kali aku mengenalnya waktu hari pertama di kelas satu, aku heran melihatnya. Aku melihatnya anak laki-laki aneh yang selalu menggunakan pakaian seragam wanita, blus putih dan rok pendek abu-abu. Cuma suaranya saja yang kecil saja yang menandakan ia masih termasuk kategori cewek. Itu pun terdengar galak dan tegas.

Suatu waktu, kelompok pecinta alam sekolahku di mana aku dan Ling Ling bergabung di dalamnya berencana untuk mengadakan acara mendaki gunung di Gunung Salak, Jawa Barat. Setiap kelas diminta untuk mengirimkan minimal dua orang wakilnya. Aku dan Ling Ling mengikuti acara tersebut sebagai wakil kelas II A1-2. Pada hari yang ditentukan berangkatlah seluruh peserta acara tersebut ke tempat tujuan.

Hari pertama di tempat tujuan, sebelum mendaki, seluruh peserta beristirahat sejenak di kaki gunung dengan hanya menggelar sleeping bag atau kasur gulung saja sebagai alas. Saat itu masih siang. Menjelang sore baru kami semua berangkat. Pendakian hari itu memang ditujukan untuk melatih para peserta mendaki gunung di malam hari. Udara yang sangat dingin begitu menusuk tulang, meski jaket yang cukup tebal sudah melekat di badan. Tapi benar saja. Rasa dingin itu berangsur-angsur lenyap saat kami mulai berjalan melewati jalan setapak yang tersedia. Malah berubah menjadi hangat sewaktu jalan mulai menanjak cukup tinggi. Aku, Ling Ling, dan beberapa orang lagi kebetulan berada di rombongan paling belakang. Ling Ling berjalan paling buncit di belakangku. Walau aku sudah berulang kali mempersilakannya untuk berjalan di depanku, namun ia tetap berkeras tidak mau mendahuluiku. Aku yang tidak enak hati membiarkan cewek berjalan paling belakang tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku mengenal sifat Ling Ling yang keras kepala. Begitu ia memutuskan sesuatu, tak akan pernah ia mengubahnya meski dibujuk rayu bagaimanapun caranya.

Kami mulai terengah-engah. Napas rasanya hampir habis dipaksa berjalan dengan cepat. Kami semua mendekati di sebuah tanjakan cukup terjal. Di kiri kanannya terdapat jurang. Tidak terlalu dalam memang, tapi cukup menakutkan dalam gelapnya malam. Kumenoleh ke belakang. Kulihat Ling Ling tetap tegar. Tak ada rasa ragu atau gentar sedikitpun dalam dirinya. Aku kagum padanya. Sebenarnya, hatiku sedikit kecut juga. Belum pernah aku mendaki gunung di waktu malam. Seram rasanya melihat kegelapan di mana-mana di sekelilingku. Cuma lampu senter yang dibawa masing-masing peserta saja yang menjadi penerang. Akhirnya kami tiba di tanjakan terjal tersebut. Hampir semua para peserta melongo melihat tingginya sudut kemiringan tanjakan itu. Tetapi bagaimanapun juga, kami tetap harus mendakinya, meski dengan sudah payah.

"Kresek... Gedubrak.....!"

Aku berhenti berjalan, terkejut mendengar suara itu dan menoleh ke belakang. Ternyata di belakangku sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Ke mana si Ling Ling? Kucoba melihat dalam gelap ke awal tanjakan. Samar-samar kulihat ada yang bergerak-gerak di bawah sana. Kusorotkan lampu senterku ke arah itu. Ternyata kulihat Ling Ling yang sedang terduduk dengan mengurut-urut pahanya sambil meringis-ringis kesakitan. Tanpa mempedulikan para peserta lainnya di depanku yang sudah cukup jauh di depan, aku berbalik arah dan memburu turun tanjakan kembali ke tempat Ling Ling berada.

"Ling Ling! Kamu kenapa, Ling?" Aku bertanya kepada Ling Ling ketika sudah sampai di bawah.

"Kaki saya nih, Ron. Agak keseleo," jawabnya.

"Aduh. Celaka juga. Bagaimana ya?"

"Aduh!" Ling Ling mengaduh kesakitan.

"Kamu bisa jalan nggak, Ling."

"Kita coba deh. Kamu bantuin saya ya, Ron."

Akhirnya aku membantu Ling Ling bangkit berdiri. Setelah susah payah akhirnya berhasil. Aku memapahnya mencoba berjalan. Tetapi Ling Ling tambah meringis-ringis. Sialnya lagi, hujan gerimis mulai turun. Aku jadi bingung mau berbuat apa, tapi Ling Ling tetap kelihatan tenang. Sialan! Gara-gara dia, aku jadi bingung seratus keliling, tapi dia malah tenang saja, gerutuku dalam hati.

"Ling, kayaknya hujannya tambah deras aja. Mendingan kita cari tempat untuk berteduh dulu ya."

"Terserah kamu deh, Ron."

Di tengah hujan yang semakin deras, aku dan Ling Ling mencari-cari tempat yang cocok untuk berteduh sambil menunggu hujan reda. Mencari-cari cukup lama di bawah derasnya air hujan, akhirnya aku menemukan sebuah gua yang cukup lapang yang kira-kira luasnya cukup untuk menampung sepuluh orang tetapi pintu masuknya agak tersembunyi dan sulit ditemukan dalam gelap. Kami berdua masuk ke dalam gua tersebut.

Aku mencari-cari dalam ransel anti air yang kubawa barang-barang yang kira-kira bisa kupakai di situ. Aha! Kutemukan geretan gas dan sebatang lilin. Kunyalakan lilin itu dan kuletakkan di suatu tonjolan di dinding gua. Lumayan, cukup terang untuk menerangi dalam gua tersebut. Aku melihat ke arah Ling Ling. Kasihan sekali dia. Ling Ling tampak menggigil kedinginan. Aku dan dia sama-sama memakai jaket anti air. Tetapi jaket Ling Ling terkoyak cukup lebar sewaktu jatuh tadi. Dan akibatnya pakaiannya jadi basah kuyup, sedangkan pakaianku sendiri aman-aman saja, hanya basah sedikit.

Aku tak tega menyaksikan Ling Ling kedinginan seperti itu karena mengenakan pakaian yang basah kuyup. Akhirnya aku mengusulkan agar ia membuka semua pakaiannya yang basah dan sebagai penggantinya, ia kupinjami jaket tebal yang kupakai. Mula-mula Ling Ling kelihatannya ragu-ragu harus membuka pakaian di depanku. Tetapi setelah aku membujuknya dan berulangkali kujelaskan bahwa aku tak bermaksud buruk padanya, ia mau. Akhirnya dengan berdiri membelakangiku, Ling Ling mulai menanggalkan satu persatu pakaian yang dikenakannya di bawah temaramnya cahaya lilin sebatang, setelah mencopot sepatu ketsnya. Aku sebenarnya tidak bermaksud menontonnya, tetapi karena hanya di tempat itu yang terang, mau tak mau aku memandang ke arahnya juga.

Pertama-tama, Ling Ling memberikan jaketnya yang sobek kepadaku. Kemudian ia melepaskan sweater dan kaus oblong yang dipakainya. Aku terpukau sejenak melihat tubuh bagian atasnya yang putih dan kulitnya yang mulut dengan hanya mengenakan bh berukuran kecil. Dengan menutupi dadanya yang hampir terbuka dengan tangan, Ling Ling membalikkan badannya dan melemparkan pakaiannya itu padaku. Aku membalasnya dengan memberinya jaketku yang cukup tebal dan bagian dalamnya masih kering. Setelah menerima pemberianku, Ling Ling berbalik badan lagi, kembali membelakangiku. Lalu ia membuka tali bhnya dan menanggalkan penutup buah dadanya itu.

Sewaktu ia hendak memakai jaket pemberianku, tiba-tiba jaket itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah. Ling Ling membungkuk ke samping. Dari terangnya cahaya lilin, aku melihat buah dadanya. Ukurannya memang kecil, cuma sebesar buah dada anak SD. Tetapi kulihat ujungnya runcing dan puting susunya berukuran lebih kecil sedikit daripada ukuran penghapus di ujung pensil. Ling Ling tidak menyadari bahwa aku sedang memperhatikan tubuhnya yang setengah telanjang.

Sesudah memakai jaketku, lalu Ling Ling berjongkok sedikit untuk membuka celana panjang dan celana dalamnya. Kusaksikan di depan mata kepalaku sendiri pantatnya yang tidak montok tapi mulus dan putih. Barangkali akibat cahaya lilin yang remang-remang, tubuh Ling Ling yang sebenarnya bukan tipe bentuk tubuh idamanku, kurasakan tampak sensual sekali. Dan itu sudah cukup untuk membuat kemaluanku berdiri. Sementara sekilas lewat sebuah pikiran jahat di otakku, yaitu untuk memperkosa Ling Ling.
Untunglah, akal sehatku masih jauh lebih kuat.

"Kamu udah selesai, Ling."

"Udah, Ron. Terima kasih ya atas bantuan kamu."

"Don't mention it," jawabku.

"Tapi... aduh... duh..." Tiba-tiba Ling Ling mengaduh-aduh lagi ketika ia mencoba berjalan menghampiri tempat dudukku. Aku berdiri dan membantunya berjalan ke tempat dudukku itu yang kebetulan berada di tanah yang datar.

Kubantu lagi Ling Ling untuk duduk di atas ranselku.

"Di mana yang sakit, Ling?" tanyaku.

"Di sini, Ron. Paha saya sakit banget nih. Keseleo kali ya?" sahut Ling Ling sembari mengurut-urut pahanya yang tampak mulai membiru. Aku menyentuh paha Ling Ling yang putih, namun aku langsung sadar dan menarik tanganku.

"Nggak pa-pa kok, Ron, kamu mengurut pahaku. Asal saja kamu nggak berpikiran yang macam-macam."

Akhirnya aku menuruti perkataan Ling Ling. Aku mulai mengurut pahanya dengan perlahan-lahan. Tiba-tiba ia berteriak kesakitan sewaktu aku mengurutnya terlalu keras. Karena rasa sakit itu, tanpa sengaja ia merenggangkan kedua kakinya. Dari cahaya lilin yang masuk ke dalam celah-celah di antara kedua pahanya yang merenggang itu, aku dapat melihat dengan samar-samar selangkangannya dengan seonggok warna kehitaman yang terletak di tengah-tengah selangkangan itu. Kemaluanku menjadi semakin berdiri. Untungnya, Ling Ling tidak mengetahuinya.

Karena aku takut kalau Ling Ling kesakitan lagi, aku mengurut pahanya dengan hati-hati. Bahkan saking pelannya, Ling Ling merasa itu bukan sebuah urutan lagi, melainkan sebuah elusan. Dan ini dirasakannya sungguh nikmat. Belum pernah dalam hidupnya, pahanya disentuh oleh laki-laki. Ini dibuktikan oleh desahan-desahan kecil yang keluar dari mulutnya waktu aku sedang mengurutnya. Bodohnya, aku tidak menyadarinya. Aku menganggap desahan-desahan ini hanya sebagai reaksi akibat rasa sakit pada pahanya saat kuurut. Tidak lebih daripada itu.

"Gimana, Ling? Udah mendingan kan sekarang?" tanyaku setelah selesai mengurutnya.

"Iya, bener, Ron. Paha saya udah nggak begitu sakit lagi. Saya coba pake buat jalan ya."

Kubantu Ling Ling berdiri dengan hati-hati. Setelah ia berdiri, perlahan-lahan ia kulepas. Aku berdiri agak menjauh dari tempatnya. Kemudian aku memintanya mencoba berjalan ke arahku. Ling Ling dengan susah payah mencoba menggerakkan kakinya. Dengan tetap meringis-ringis, ia tertatih-tatih berjalan ke arahku. Kira-kira mencapai jarak tinggal setengah meter dari tempatku berdiri, tiba-tiba Ling Ling terhuyung-huyung dan langsung ambruk. Untung saja aku lebih cepat dan sempat menyambarnya sebelum ia jatuh mencium lantai gua.

"Aaiih....." Ling Ling mendesah ketika aku menangkap tubuhnya. Aku menjadi kaget. Astaga. Ternyata aku tak sengaja mencengkeram buah dadanya. Memang terasa ada sesuatu yang kenyal di telapak tanganku, tapi aku tak menyadarinya, sebab waktu aku menangkap tubuh Ling Ling itu
adalah karena gerak refleksku.

"Ron, Ronny... Lepasin dong..." Teriakan Ling Ling membuatku sadar. Ternyata karena aku kaget tadi, aku bukannya melepaskannya tapi malah mencengkeram buah dadanya semakin kencang. Kulihat mukanya memerah.

Aku melepaskan tanganku dari tubuh Ling Ling dan mencoba mengajaknya mencoba berjalan lagi. Aku mundur sedikit kira-kira satu meter. Ling Ling pun kembali tertatih-tatih berusaha berjalan menghampiriku. Lagi-lagi setelah ia sudah cukup dekat, tubuhnya sempoyongan, dan lagi-lagi aku berhasil menangkapnya. Tubuhnya langsung ambruk ke pelukanku. Dan wajahnya tepat berada di depan wajahku, cuma berjarak lebih kurang satu senti saja.

Sejenak aku dan Ling Ling saling memandang lamat-lamat satu sama lain. Seperti ada yang menggerakkanku, terjadi suatu aliran yang aneh di dadaku. Tanpa sempat kucegah sendiri, bibirku sekonyong-konyong sudah menempel pada bibir Ling Ling yang masih pucat. Ling Ling mencoba melepaskan diri. Namun mengapa, semakin ia mencoba menghindar, semakin erat saja bibir kami menyatu. Akhirnya, ia tidak menghindar lagi, malah kelihatannya ia kini menerima bibirku dengan ikhlas.

Mengetahui penerimaan Ling Ling ini, gairahku pun timbul. Dengan berani aku mulai mengulum bibirnya yang setengah membuka. Sensual sekali disinari cahaya lilin yang remang-remang. Kulihat, Ling Ling pun tampaknya membalas kulumanku. Bahkan ia mengeluarkan lidahnya dan menjilati lidahku. Akhirnya bibir kami berdua saling memagut dan lidah kami saling menjilat. Kami melakukan 'french kissing' ini hampir selama 5 menit. Kami sudah tidak mempedulikan lagi temaramnya cahaya lilin, gelapnya malam, dinginnya udara, dan turunnya air hujan di luar gua yang semakin bertambah deras. Kami sedang terhanyut dalam nafsu birahi yang muncul secara mendadak. Terutama setelah pakaianku juga terlucuti semua.

Tanganku turun ke arah dada Ling Ling. Kutelusuri lengkungan kecil di dadanya melalui balik jaket. Ling Ling tampak menggelinjang kecil ketika jamahan tanganku mengenai suatu titik kecil di tengah-tengah lengkungan itu yang menonjol seukuran penghapus di ujung pensil. Kujilat benda mungil yang berbentuk pentil itu melalui kain jaket yang menutupinya.

Tidak sabaran, aku membuka zipper jaket yang dipakai Ling Ling. Setelah zipper itu terbuka setengahnya, aku merogohkan tangan ke dalam zipper itu ke balik jaket. Ling Ling menggeliat dan mendesis sewaktu tanganku mendarat di dadanya. Dan ia mengulanginya lagi ketika buah dadanya kuremas. Buah dada yang kecil ukurannya tapi kenyal amat mengasyikkan bagi tanganku. Baru kali ini aku mendapat kesempatan memegang buah dada seorang wanita. Dan kebetulan wanita itu adalah Ling Ling, teman sekelasku.

"Aaaaahh....." desah Ling Ling lagi waktu aku mulai menggerayangi puting susunya yang langsung saja mengeras begitu terkena jamahanku.

Seperti anak kecil menemukan permainan baru, kupermainkan puting susu Ling Ling yang kian bertambah keras. Semakin keras lagi, sejalan dengan semakin lincahnya tanganku memuntir-muntirnya. Dan semakin banyak pula, desahan yang keluar dari mulutnya. Gerinjalan tubuhnya juga semakin menggila.

Selanjutnya, aku meneruskan membuka zipper jaket Ling Ling sampai terbuka seluruhnya. Lalu kutanggalkan jaket itu, hingga terpampanglah tubuh Ling Ling telanjang bulat tanpa penutup apapun. Memang benar taksiranku selama ini. Buah dadanya memang berukuran kecil, hanya berbentuk lengkungan kecil. Tetapi lengkungan itu bentuknya membulat dan indah, serasi dengan pinggangnya yang ramping dan pantatnya yang tipis. Baru kusadari sekarang, tubuh Ling Ling begitu mulus dan putih kulitnya, hampir tanpa noda. Berbeda dengan tingkah lakunya selama ini yang begitu kelaki-lakian, sehingga berkesan tidak ada waktu untuk merawat tubuhnya, tidak seperti cewek-cewek lain lazimnya.

Ling Ling hanya memandangku dengan diam ketika kudekatkan bibirku pada buah dada mungilnya. Dengan nafsunya kukenyot buah dada yang rasanya kenyal itu. Mulutku berdecap-decap seolah-olah tengah menyedot sesuatu. Sementara itu, lidahku menjilati dan menggelitiki puting susunya yang makin mengeras. Sebentar-bentar, kuseruput puting susu yang menggiurkan tersebut. Rasanya macam-macam antara sedikit asam dan sedikit asin. Barangkali karena habis basah karena air hujan dan keringat. Tetapi yang penting, puting susu Ling Ling menjadi santapan yang lezat buat mulutku.

Mulutku berpindah lebih ke bawah. Mula-mula kujilati sekujur tubuh bugil Ling Ling, mulai dari belahan di antara buah dadaya, kemudian turun ke bawah sampai perutnya yang ramping. Di sini aku berhenti sebentar. Kucucupkan lidahku memasuki lubang pusarnya. Ling Ling menggelinjang kegelian. Lalu kujilat-jilat lubang pusarku dengan gemas. Lubang pusar Ling Ling bentuknya begitu indah, begitu bulat seperti lingkaran.

"Ooooohhhhh..... uuuuuuhhhhh....." Ling Ling melenguh panjang.

Mulutku tiba pada selangkangannya. Di tengah-tengah selangkangan itu terdapat sebuah lubang yang kecil lagi sempit dengan semacam bibir berwarna kemerahan. Di sekitar lubang tersebut dihiasi oleh rambut-rambut kehitaman. Masih jarang-jarang memang, tapi cukup membangkitkan selera siapa yang melihatnya. Nah wilayah inilah sekarang menjadi wilayah kekuasaannya mulutku dengan lidahnya yang gesit.

Kujilati wilayah kekuasaanku itu dengan penuh birahi tapi lembut. Itu pun sudah membuat pemilik asli wilayah tersebut menggelinjang tubuhnya yang mulus. Kuusap-usap dengan lidahku lingkaran seputar bibir kemerahan sedikit berlipat yang berada di mulut lubang sempit di selangkangan itu. Ketika menemukan daging kecil yang dikenal orang dengan nama clitoris di pangkal bibir kemerahan itu, lidahku berhenti bergerak. Sebagai gantinya, ia membelai-belai daging kecil yang semakin lama semakin merah tersebut. Ling Ling, sebagai pemilik daging kecil itu, tubuhnya menggeliat-geliat kencang. Dari mulutnya pun keluar desahan-desahan yang binal.

Usai berpetualang di clitoris Ling Ling, lidahku mulai masuk merambah lubang kecil dan sempit yang mulai dilumasi cairan bening yang mengalir dari dalamnya. Cairan 'pelumas' itu membuat dinding lubang itu menjadi licin dan basah, sehingga memudahkan lidahku menjelajahi seluruh permukaannya dengan bebas. Sungguh suatu sensasi yang luar biasa bagiku dan Ling Ling. Terutama bagi Ling Ling, apalagi setelah ditambah oleh rangsangan yang ditimbulkan oleh salah satu jariku yang kini menggantikan 'pekerjaan' lidahku di lubang kewanitaan Ling Ling. Sama seperti lidahku, semua 'tugas' jariku ini juga dipermudah berkat lumasan cairan 'pelumas alami' yang makin lama kian membanjir. Perlahan tapi pasti, jariku bergerak semakin maju di dalam lubang kenikmatan Ling Ling. Sejenak seperti ada sesuatu yang menghalangi perjalanan jariku sampai tujuannya. Namun dengan sekali gerakan, halangan itu berhasil diterobos, dengan sepertinya ada sesuatu yang sobek.

Ketika kutarik jariku dari dalam kewanitaan Ling Ling kulihat ada cairan merah yang membasahi jariku itu. Aku tahu apa artinya ini, dan Ling Ling pun juga tahu. Ini dibuktikan oleh air mata yang membasahi pelupuk matanya saat melihat jariku ini. Ling Ling tahu, kini pertahanannya telah berhasil dijebol. 'Benteng' yang selama ini begitu kukuh dipertahankannya, malam ini diruntuhkan begitu saja oleh teman sekelasnya, yang tak lain tak bukan adalah aku. Ling Ling belum memikirkan bagaimana masa depannya nanti sebagai seorang gadis yang telah kehilangan miliknya yang paling berharga seperti yang baru saja dialaminya kini.

Akan tetapi, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang sudah terjadi, tidak boleh ditangisi. Iya kan, Ling. Air mata kesedihan pun sudah berhenti mengalir, berganti dengan air mata tanda rasa nikmat yang tiada taranya akibat ada sebuah benda padat tapi lentur yang bergerak maju mundur dalam liang kewanitaannya. Rasa nikmat tersebut semakin dirasakannya lagi saat gerakan maju mundur itu kian tinggi akselerasinya. Apalagi ditambah dengan rasa geli akibat gelitikan-gelitikan lidah yang diterima oleh puting susunya.

Ya, kemaluanku semakin garang menerjang siapa saja yang mungkin menghadang dalam perjalanannya di dalam kewanitaan Ling Ling. Suatu tugas yang gampang-gampang susah. Gampang sebab 'jalur perjalanan' yang dilewati begitu mulus dan licin akibat terlampau banyaknya 'cairan pelumas' yang digunakan. Susah sebab 'perjalanan' ini baru pertama kali ini dialami oleh kedua belah pihak. Baik olehku, maupun oleh Ling Ling. Tetapi, berkat kami berdua yang telah menyatu padu dengan bertumpu pada satu titik, membuat segala halangan dan hadangan dalam 'perjalanan' itu menjadi sirna.

Hujan di luar gua sudah mulai mereda pada saat kami hampir tiba di akhir 'perjalanan' kami berdua. Akhirnya kami sampai di 'tujuan' kami dengan bersamaan. Dibarengi dengan lenguhan dan jeritan panjang dari kedua insan telanjang, tahap yang amat diharap-harapkan oleh pasangan yang sedang bercinta pun tercapai.

Beberapa jam berselang, suasana dalam gua pun berubah menjadi sunyi. Tidak ada suara apapun yang terdengar, kecuali suara cengkerik yang masih bersahutan di luar. Hujan pun telah lama reda. Matahari sudah ingin menampakkan sosoknya. Yang tertinggal hanyalah dua makhluk hidup berlainan jenis kelamin yang tak berpenutup apapun. Kedua tubuh bugil itu sama-sama tertidur nyenyak dengan tubuh bagian bawah mereka masih tetap menyatu, seakan-akan tiada sesuatu pun yang dapat memisahkan mereka.

Demikian terlelapnya kedua insan telanjang tersebut, sehingga mereka tidak menyadari ada suara-suara yang terdengar di mulut gua, disusul dengan beberapa langkah kaki yang memasuki gua itu. Dan dilanjutkan dengan seruan-seruan tak percaya setelah melihat apa yang diketemukan di dalam gua.

"Waduh! Gila juga ini anak dua! Dicariin ke mana-mana, eh tau-taunya malah main di sini!"

"Bener-bener keterlaluan mereka! Kita semua pada cape nyariin mereka, mereka malah enak-enakan berdua!"

"Sialan! Mendingan kita hukum apa mereka?"

"Saya punya ide. Begini saja."

Terdengar beberapa suara berbisik-bisik.

"Oke, saya setuju. Sekarang kita bangunin mereka dulu aja ya."

"Ronny! Ling Ling! Bangun! Sudah pagi nih! Jangan molor aja dong!"

Aku terjaga karena merasa tubuhku digoyang-goyang sesuatu atau seseorang. Dan langsung melompat kaget melihat siapa yang melakukannya. Seketika itu juga kontan kemaluanku langsung tertarik keluar dari dalam kewanitaan Ling Ling dengan masih meneteskan cairan kenikmatan yang masih tersisa. Segera kubangunkan pula Ling Ling yang juga langsung melompat kaget dan langsung meraih apa saja yang bisa diraih untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bulat.

"Ayo kita seret mereka dan hukum mereka."

Kemudian aku dan Ling Ling diseret oleh mereka yang ternyata para peserta pendakian gunung yang dari malam mencari-cari kami berdua. Masih dalam keadaan telanjang bulat tanpa penutup sehelai benangpun dan dengan ditonton oleh seluruh peserta, kami berdua diarak ke tempat perkemahan di kaki gunung.

Setiba di tempat perkemahan kami, aku dan Ling Ling disuruh berbeda di suatu areal terbuka di tengah-tengah perkemahan yang dimaksudkan sebagai tempat api unggun pada malam hari. Angin pagi di pegunungan begitu dingin terasa di kulit kami berdua yang tidak memiliki penutup apapun. Akhirnya dengan ditonton oleh puluhan pasang mata aku dan Ling Ling berdiri dengan perasaan bercampur antara malu, takut, dan gelisah. Ada beberapa di antara penonton kami yang terlihat malu-malu, terutama cewek-cewek. Tetapi tak sedikit pula, khususnya cowok-cowok yang begitu antusias menyaksikan kedua tubuh kami yang bugil, terutama tubuh ramping Ling Ling yang putih dan mulus. Setegar-tegarnya Ling Ling, akhirnya ia tidak dapat menahan tangisnya juga. Dengan terisak-isak ia mencoba berlindung di balik badanku untuk melindungi tubuhnya yang telanjang dari tatapan mata binal para penonton kami.

Ternyata penderitaan itu belum berakhir sampai di sini. Sebagian besar kerumunan di sekeliling aku dan Ling Ling berteriak-teriak menyuruh kami berdua berbuat lebih jauh di depan mereka, walau ada pula yang melarangnya. Tetapi akhirnya pemimpin rombongan mengambil keputusan mengabulkan keinginan mereka untuk menonton aku menggauli Ling Ling di hadapan mereka.

Keputusan ini bagaikan halilintar yang menyambar kami berdua. Tapi apa boleh buat, kami terpaksa harus mematuhinya juga, daripada kami akan dibiarkan telanjang bulat seterusnya di tengah-tengah hawa pegunungan yang dingin bila tidak mau melakukannya. Isak tangis Ling Ling pun kian menjadi-jadi. Bahkan aku yang mencoba membujuknya tidak berhasil juga.

Akhirnya dengan berat hati, kutempelkan tubuhku ke tubuh Ling Ling. Begitu tubuh kami menyatu dan dadaku menempel dengan buah dadanya yang hampir rata, seketika itu ada semacam aliran aneh yang menjalari kami berdua. Tangis Ling Ling pun berhenti. Dengan diiringi tatapan-tatapan
para penonton yang melongo-longo keheranan, kami tampaknya melupakan apa yang baru saja terjadi. Kami sudah melupakan bahwa kami saat ini tengah dihukum dam dipermalukan di depan banyak orang. Nafsu birahi yang kembali timbul dan intensitasnya mulai meninggi sepertinya menghanyutkan kami hingga kami lupa akan segala-galanya.

Dengan gairah yang tinggi kulumat bibir Ling Ling yang mungil dan ia membalasnya dengan gairah yang sama. Lidah kami berdua saling mempermainkan dalam rongga mulut kami masing-masing. Sementara kemaluanku mulai merambah masuk ke dalam lubang kewanitaan Ling Ling yang menganga cukup lebar di selangkangannya. Dengan segera kugerak- gerakan kemaluanku itu maju-mundur di dalam liang kenikmatan tersebut, dibarengi pula dengan gerakan-gerakan pantat Ling Ling yang ikut maju-mundur berusaha mengimbangi genjotanku. Para penonton pun semakin terpana melihat permainan cinta yang baru pertama kali disaksikan oleh sebagian besar dari mereka. Begitu panasnya persetubuhan yang mereka saksikan, ada beberapa orang yang kelihatan bergetar hebat tubuhnya. Sebagian lagi yang tidak tahan menyaksikan permainan cinta kami langsung ambil langkah mundur dan masuk ke tenda mereka masing-masing.

Sementara di atas mulutku masih saling berpagutan dengan mulut Ling Ling, di bawah permainan kemaluanku di dalam kewanitaan Ling Ling juga masih terjadi, malah semakin cepat. Tak ayal lagi, lenguhan-lenguhan keras bermuncratan dari mulut kami berdua. Diimbangi dengan kedua tubuh kami yang melonjak-lonjak keras. Semakin lama semakin bertambah panas. Tetapi nafsu birahi yang membulak-bulak seolah-olah telah menenggelamkan kami berdua. Tiada lagi rasa malu, rasa takut, rasa canggung, dan sebagainya. Yang tersisa hanya rasa nikmat yang luar biasa dan tak terlukiskan oleh apapun. Sampai di suatu titik puncak di mana kami bersama-sama meregang, meluapkan segala macam rasa yang begitu hebatnya hingga meresap sampai ke ujung tulang kami.

Hari itu pula, Ling Ling langsung pulang ke rumah dengan diantar salah seorang peserta yang sejak tadi termasuk salah seorang yang menentang hukuman yang kami terima. Dan sejak saat itu pula, aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Baik di sekolah maupun di tempat lain. Dari berita terakhir yang kuterima, kudengar ia bersama keluarganya telah pindah tempat meninggalkan kota Jakarta ini.

Dalam hatiku timbul penyesalan yang paling dalam, mengapa aku berbuat khilaf dan tega-teganya berbuat yang tidak-tidak pada diri Ling Ling, sehingga dirinya menjadi korban seperti ini. Segala macam rasa bercampur baur dalam benakku, rasa iba, rasa menyesal, rasa ingin melindungi, rasa kasih, dan..... rasa cinta..... Ling, di manakah sekarang kamu berada di saat-saat aku merasakan sesuatu yang lain terhadapmu? Ya, di saat aku mulai merasakan ada rasa cinta di hatiku padamu!

Tidak ada komentar: